CMBC Indonesia - Kebijakan ekonomi fiskal yang dikeluarkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dianggap bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Hal itu terlihat dari kebijakan ekspor impor Indonesia yang menguntungkan asing dan merugikan masyarakat, sehingga cenderung kepada penerapan sistem ekonomi neo liberalisme.
Pakar ekonomi dan kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy mengatakan, defisit neraca perdagangan yang pada Oktober 2019 surplus 161,3 juta dolar AS bukan berarti menunjukkan pengelolaan keuangan negara baik.
Sebab, pemerintah seringkali mengeluarkan kebijakan yang hanya melihat perolehan angka pendapatan, bukan kepada efek domino yang terjadi di dalam negeri.
"Contoh sederhannya gini, kita ekspor ke Jepang gas, kita ekspor sumber daya dengan harga murah. Jepang mengekspor lagi kemari dengan harga mahal. Jadi kerja Jepang sekali kerja, kita sesungguhnya 5 kali, gitu loh," katanya saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (5/12).
Kebijakan yang mementingkan revenue tersebut, dijelaskan Ichsan, bertentang dengan ekonomi konstitusi, yakni pembukaan UUD 1945 dan relasinya dengan pasal 18, pasal 23, pasal 27 ayat (2), pasal 28, pasal 31, pasal 32, pasal 33, dan pasal 34.
"Ini kesalahannya tidak dilihat dari substansinya, tapi dilihatnya pada angka. Seolah-olah ketika surplus gitu ya, seperti misalnya Indonesia dengan Jepang tadi," ujarnya.
"Dalam bahasa yang sederhana ini bukti bahwa kebijakan neo liberal itu tidak cocok untuk Indonesia dan bertentang dengan Pancasila yang upayanya tidak terjadi ketimpangan struktural dan agar tidak terjadi ketimpangan regional," tutup Ichsan menambahkan. [rmol]
Loading...
loading...