CMBC Indonesia - Namanya Geng Shuang. Pria kelahiran April 1973 ini menjadi diplomat paling dikenal di Indonesia dalam beberapa hari terakhir.
Sejak sistem kejubiran di Kementerian Luar Negeri Republik Rakyat China (RRC) dimulai pada 1983, Shuan adalah jurubicara ke-30.
Masih muda, tetapi punya kemampuan diplomatik yang mumpuni. Tahun 2006 ia memperoleh gelar master Hubungan Internasional dari Tufts University, di Amerika Serikat.
Kariernya di Kemlu pemerintahan Komunis China dimulai pada 1995. Berbagai posisi telah dijabaninya. Mulai dari staf sekretaris, counsellor, dan direktur divisi.
Pada tahun 2011 sampai 2015 ia bertugas sebagai Counsellor di Kedubes RRC di Washington DC. Lalu ditunjuk sebagai Counsellor di Divisi Ekonomi Kemlu RRC.
Pada tahun 2016 ia diangkat menjadi deputi direktur Departemen Informasi Kemlu RRC.
Rasa-rasanya tidak berlebihan menyebut Gheng Shuang sebagai diplomat China yang paling dikenal di Indonesia dalam beberapa hari terakhir.
Adalah Shuang, dalam jumpa pers di hari Selasa, 31 Desember 2019, yang menjelaskan posisi negaranya terkait insiden pelanggaran wilayah yang dilakukan Coast Guard China dan kapal-kapal nelayan negara komunis itu di perairan Natuna, Indonesia.
Atas pelanggaran wilayah itu, sehari sebelumnya, Senin, 30 Desember 20119, Kemlu RI telah memanggil Dubes China di Jakarta dan mengirimkan nota keberatan.
Seperti pendahulunya, Shuang secara konsisten menegaskan sikap negara itu pada isu Laut China Selatan. Bahwa China memiliki wilayah perairan seperti yang mereka gambarkan dalam sembilan garis-putus.
Ia tak peduli bahwa klaim itu menabrak wilayah perairan negara-negara Asia Tenggara di kawasan, mulai Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, sampai Malaysia, juga menabrak Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia yang diakui dalam Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982.
Yang juga tidak ada bagi Shuang, seperti juga bagi senior-seniornya di Kemlu China, adalah keputusan Tribunal Permanent Court of Arbitration (PCA) di Belanda terkait sengketa negara itu dengan Filipina di Kepulauan Spratly.
Tribunal di bulan Juli 2016 telah memutuskan bahwa klaim China di perairan Spratly tidak berdasar. Apa yang mereka sebut sebagai "klaim sejarah" sama sekali tidak bisa dianggap ada. Termasuk tidak ada di dalam UNCLOS 1982.
Tetapi, juga seperti senior-seniornya, Shuang tidak peduli.
Dosen hubungan internasional dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Teguh Santosa, menggambarkan China seperti hidup di era Kublai Khan, beberapa ratus tahun lalu, dari 1271 sampai 1294, yang menganggap mereka bisa memaksa negara mana saja untuk membayar upeti kepada mereka dan mengaku takluk di hadapan tahta Dinasti Yuan.
Jawaban yang disampaikan Shuang membuat pihak Indonesia semakin panas.
Dalam keterangan di hari Rabu, 1 Januari 2019, Kemlu RI menolak apa yang disebut sebagai klaim sepihak atau unilateral, juga klaim sejarah, China itu.Shuang tak mau kalah. Dalam jumpa pers kemarin, 2 Januari 2020, ia awalnya enggan menjawab pertanyaan soal insiden pelanggaran wilayah perairan Natuna. Karena menurutnya, ia sudah memberikan jawaban yang tegas dalam kesempatan sebelum itu.
Namun akhirnya, Shuang mengatakan, China akan tetap pada klaim mereka di perairan itu, apakah Indonesia mau menerima atau tidak.
Hari ini, Jumat, 3 Januari 2020. pengaruh Geng Shuang terlihat semakin nyata.
Di Jalan Medan Merdeka Barat, di Kantor Menko Polhukam RI, menteri-menteri senior Indonesia berkumpul untuk merumuskan jawaban atas pernyataan-pernyataan yang disampaikan Shuan.
Seorang jurubicara kelahiran 1973 dihadapi oleh Menko Mahfud MD, Menhan Prabowo Subianto, Menlu Retno Marsudi, Kepala Menhub Budi Karya, Menkumham Yasonna Laoly, dan Kepala Bakamla Laksdya A. Taufiq R.
Gentarkah Geng Shuang? Rasanya tidak. Tidak akan.
Dia tahu, dia di pihak yang kuat. (Rmol)
Sejak sistem kejubiran di Kementerian Luar Negeri Republik Rakyat China (RRC) dimulai pada 1983, Shuan adalah jurubicara ke-30.
Masih muda, tetapi punya kemampuan diplomatik yang mumpuni. Tahun 2006 ia memperoleh gelar master Hubungan Internasional dari Tufts University, di Amerika Serikat.
Kariernya di Kemlu pemerintahan Komunis China dimulai pada 1995. Berbagai posisi telah dijabaninya. Mulai dari staf sekretaris, counsellor, dan direktur divisi.
Pada tahun 2011 sampai 2015 ia bertugas sebagai Counsellor di Kedubes RRC di Washington DC. Lalu ditunjuk sebagai Counsellor di Divisi Ekonomi Kemlu RRC.
Pada tahun 2016 ia diangkat menjadi deputi direktur Departemen Informasi Kemlu RRC.
Rasa-rasanya tidak berlebihan menyebut Gheng Shuang sebagai diplomat China yang paling dikenal di Indonesia dalam beberapa hari terakhir.
Adalah Shuang, dalam jumpa pers di hari Selasa, 31 Desember 2019, yang menjelaskan posisi negaranya terkait insiden pelanggaran wilayah yang dilakukan Coast Guard China dan kapal-kapal nelayan negara komunis itu di perairan Natuna, Indonesia.
Atas pelanggaran wilayah itu, sehari sebelumnya, Senin, 30 Desember 20119, Kemlu RI telah memanggil Dubes China di Jakarta dan mengirimkan nota keberatan.
Seperti pendahulunya, Shuang secara konsisten menegaskan sikap negara itu pada isu Laut China Selatan. Bahwa China memiliki wilayah perairan seperti yang mereka gambarkan dalam sembilan garis-putus.
Ia tak peduli bahwa klaim itu menabrak wilayah perairan negara-negara Asia Tenggara di kawasan, mulai Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, sampai Malaysia, juga menabrak Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia yang diakui dalam Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982.
Yang juga tidak ada bagi Shuang, seperti juga bagi senior-seniornya di Kemlu China, adalah keputusan Tribunal Permanent Court of Arbitration (PCA) di Belanda terkait sengketa negara itu dengan Filipina di Kepulauan Spratly.
Tribunal di bulan Juli 2016 telah memutuskan bahwa klaim China di perairan Spratly tidak berdasar. Apa yang mereka sebut sebagai "klaim sejarah" sama sekali tidak bisa dianggap ada. Termasuk tidak ada di dalam UNCLOS 1982.
Tetapi, juga seperti senior-seniornya, Shuang tidak peduli.
Dosen hubungan internasional dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Teguh Santosa, menggambarkan China seperti hidup di era Kublai Khan, beberapa ratus tahun lalu, dari 1271 sampai 1294, yang menganggap mereka bisa memaksa negara mana saja untuk membayar upeti kepada mereka dan mengaku takluk di hadapan tahta Dinasti Yuan.
Jawaban yang disampaikan Shuang membuat pihak Indonesia semakin panas.
Dalam keterangan di hari Rabu, 1 Januari 2019, Kemlu RI menolak apa yang disebut sebagai klaim sepihak atau unilateral, juga klaim sejarah, China itu.Shuang tak mau kalah. Dalam jumpa pers kemarin, 2 Januari 2020, ia awalnya enggan menjawab pertanyaan soal insiden pelanggaran wilayah perairan Natuna. Karena menurutnya, ia sudah memberikan jawaban yang tegas dalam kesempatan sebelum itu.
Namun akhirnya, Shuang mengatakan, China akan tetap pada klaim mereka di perairan itu, apakah Indonesia mau menerima atau tidak.
Hari ini, Jumat, 3 Januari 2020. pengaruh Geng Shuang terlihat semakin nyata.
Di Jalan Medan Merdeka Barat, di Kantor Menko Polhukam RI, menteri-menteri senior Indonesia berkumpul untuk merumuskan jawaban atas pernyataan-pernyataan yang disampaikan Shuan.
Seorang jurubicara kelahiran 1973 dihadapi oleh Menko Mahfud MD, Menhan Prabowo Subianto, Menlu Retno Marsudi, Kepala Menhub Budi Karya, Menkumham Yasonna Laoly, dan Kepala Bakamla Laksdya A. Taufiq R.
Gentarkah Geng Shuang? Rasanya tidak. Tidak akan.
Dia tahu, dia di pihak yang kuat. (Rmol)
Loading...
loading...