CMBC Indonesia - Kasus salah tangkap yang dialami mahasiswa perguruan tinggi swasta di Yogyakarta bernama Halimi Fajri pada (25/12) lalu menjadi catatan serius bagi aparat kepolisian.
Terlebih dengan adanya dugaan penangkapan tanpa pemeriksaan terhadap korban yang disangka terlibat dalam perampokan rumah kosong di Yogyakarta.
"Jelas ini penyimpangan prosedur dalam kejadian salah tangkap mahasiswa di Yogya. Ada yang salah pada SDM oknum tim kepolisian yang menangkap mahasiswa tersebut," kata Dosen Hukum Pidana Universitas Bung Karno, Azmi Syahputra kepada redaksi, Rabu (1/1).
Menurutnya, kejadian salah tangkap bukan kali ini terjadi. Merujuk data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) tahun lalu, jelasnya, ada sekitar 51 kali kasus salah tangkap, termasuk yang berujung nyawa.
"Ini harus menjadi evaluasi total yang dilakukan bersama dalam mewujudkan polisi profesional, modern dan terpercaya (promoter)," sambungnya.
Ia menjabarkan, syarat penangkapan sudah tercantum dalam KUHAP, termasuk Perkapolri 8/2009 tentang implementasi prinsip standar HAM dalam penyelenggaraan tugas kepolisian dan Perkapolri 14/2012 tentang Manajemen Penyelidikan Tindak Pidana.
Adapun syarat tersebut adalah harus ada surat perintah, ada bukti permulaan yang cukup, hanya dilakukan pada yang betul-betul (di duga keras) melakukan tindak pidana, dan tidak boleh dilakukan sewenang-wenang.
"Ini syarat wajib dan menjadi pedoman, mekanisme, dan tata cara prosedur. Itu norma, jadi harus ditaati dalam proses penyelidikan atau penyidikan di lapangan," tekannya.
Menurut pandangannya, kejadian salah tangkap kerap terjadi karena minimnya informasi dari saksi-saksi yang cenderung sudah tertekan secara fisik.
Oleh karenanya, ia berharap sanksi bagi oknum polisi yang melakukan salah tangkap tidak hanya diberikan sanksi disiplin, melainkan dikenakan sanksi tindak pidana.
"Selain itu, pendekatan penanganan permasalahan masyarakat juga sudah saatnya dilakukan dengan pendekatan kultural dan sosial, tidak lagi dengan kekerasan agar polisi dalam bertugas lebih profesional, hati-hati, teliti dan memiliki bukti yang valid, bukan asal tangkap," tandasnya. (Rmol)
Terlebih dengan adanya dugaan penangkapan tanpa pemeriksaan terhadap korban yang disangka terlibat dalam perampokan rumah kosong di Yogyakarta.
"Jelas ini penyimpangan prosedur dalam kejadian salah tangkap mahasiswa di Yogya. Ada yang salah pada SDM oknum tim kepolisian yang menangkap mahasiswa tersebut," kata Dosen Hukum Pidana Universitas Bung Karno, Azmi Syahputra kepada redaksi, Rabu (1/1).
Menurutnya, kejadian salah tangkap bukan kali ini terjadi. Merujuk data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) tahun lalu, jelasnya, ada sekitar 51 kali kasus salah tangkap, termasuk yang berujung nyawa.
"Ini harus menjadi evaluasi total yang dilakukan bersama dalam mewujudkan polisi profesional, modern dan terpercaya (promoter)," sambungnya.
Ia menjabarkan, syarat penangkapan sudah tercantum dalam KUHAP, termasuk Perkapolri 8/2009 tentang implementasi prinsip standar HAM dalam penyelenggaraan tugas kepolisian dan Perkapolri 14/2012 tentang Manajemen Penyelidikan Tindak Pidana.
Adapun syarat tersebut adalah harus ada surat perintah, ada bukti permulaan yang cukup, hanya dilakukan pada yang betul-betul (di duga keras) melakukan tindak pidana, dan tidak boleh dilakukan sewenang-wenang.
"Ini syarat wajib dan menjadi pedoman, mekanisme, dan tata cara prosedur. Itu norma, jadi harus ditaati dalam proses penyelidikan atau penyidikan di lapangan," tekannya.
Menurut pandangannya, kejadian salah tangkap kerap terjadi karena minimnya informasi dari saksi-saksi yang cenderung sudah tertekan secara fisik.
Oleh karenanya, ia berharap sanksi bagi oknum polisi yang melakukan salah tangkap tidak hanya diberikan sanksi disiplin, melainkan dikenakan sanksi tindak pidana.
"Selain itu, pendekatan penanganan permasalahan masyarakat juga sudah saatnya dilakukan dengan pendekatan kultural dan sosial, tidak lagi dengan kekerasan agar polisi dalam bertugas lebih profesional, hati-hati, teliti dan memiliki bukti yang valid, bukan asal tangkap," tandasnya. (Rmol)
Loading...
loading...