Oleh: Salamuddin Daeng
SETIAP investasi atau penanaman modal di suatu negara pasti berpijak kepada hukum nasional suatu negara, atau hukum internasional yang diratifikasi oleh suatu negara, atau perjanjian internasional baik itu perjanjian regional, multilateral maupun bilateral. Semuanya menjadi dasar bagi investasi.
Pijakan yang lebih kuat lagi yang mengalahkan UU dan UUD adalah kontrak-kontrak dalam sumber daya alam. Seperti kontrak karya dalam pertambangan, production sharing contract dalam migas, perjanjian kerja batubara, dll. Saat kontrak sudah disepakati, maka tidak ada lagi UU yang dapat menyentuhnya.
Seharusnya logikanya demikian. Akan tetapi di Indonesia justru pelanggaran kontrak banyak dilakukan perusahaan, dan pemerintah melakukan pembiaran saja. Pemerintah seringkali meminta kompensasi atas pelanggaran kontrak, baik secara legal maupun di bawah meja.
Sebetulnya baik UUD, UU, maupun kontrak tidak benar-benar dijalankan dengan sunguh-sungguh. Bahkan pelanggaran-pelanggaran dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah dan pengusaha.
Istilah lainnya “baku atur, cincailah", yang semuanya bisa ditukar dengan sejumlah uang.
Regulasi di Indonesia memang parah, tidak setiap hari bisa berubah-ubah.
Mengapa? Karena setiap hari DPR bisa memproduksi UU. Suka-suka DPR saja. Selain itu, UU yang telah dibuat dalam sekejap bisa dibatalkan oleh individu, atau badan hukum apapun melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Ini membuat negara dan pemerintahan serta dunia usaha langsung kehilangan pegangan.
Ditambah lagi, UU dan regulasi pernah dijalankan menurut prinsip kepastian hukum, selalu dilanggar atas nama kekuasaan. Mereka yang buat, mereka juga yang melanggar. Itulah ciri kekuasaan di Indonesia. Seluruh dunia sudah tahu bahwa peraturan di Indonesia gampang dibeli.
Banyak studi menyatakan dalam dokumen mereka bahwa persoalan terbesar di Indonesia adalah ketidakpastian hukum, uncertainty regulation, dan korupsi. Lebih memalukan lagi pejabat Indonesia meminta uang kepada investor dalam rangka urusan politik mereka. Nanti akan dibayar dengan kebijakan.
Makin tidak pasti lah hukum itu. Lagipula di Indonesia penguasanya banyak. Demikian juga yang tampak berkuasa, bukan yang sebetulnya berkuasa. Ini gerombolan bukan masyarakat!
Salamuddin Daeng
Loading...
loading...