CMBC Indonesia - Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Gerakan untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) melakukan kajian mengenai 100 hari pertama pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Acara tersebut digelar di Kantor DEEP Indoensia, Bogor, Jawab Barat, pada Ahad (2/2).
Aktivis yang tergabung dalam GIAD antara lain: Alwan Ola Riantoby (Kornas JPPR), Arif Susanto (Exposit Strategic), Arif Susanto (Exposit Strategic), Badi’ul Hadi (Seknas Fitra), Kaka Suminta (KIPP Indonesia), Ajeng Kusumaningrum (Aktivis Demokrasi), Yusfitriadi (DEEP Indonesia), Ray Rangkuti (LIMA Indonesia), Jeirry Sumampow (TePI Indonesia), Lucius Karus (Formappi), dan Farida Laela (Alinea).
Secara khusus GIAD menyoroti masalah pemberantasan korupsi, penegakan HAM, dan penguatan demokrasi pada 100 hari pertama pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Sebagai bentuk evaluasi GIAD memberikan beberapa catatan sebagai berikut:
Pertama, pada 100 hari pertama Jokowi, demokrasi Indonesia telah mengalami kemunduran signifikan. Namun ironisnya, institusi negara dengan pemerintahan di dalamnya menjadi kontributor utama kemunduran tersebut.
“Demokrasi telah dikorupsi,” demikian keterangan resmi GIAD kepada Indonesiainside.id, Ahad (2/2).
Kedua, presiden dan DPR disebut bersekongkol untuk memperlemah KPK melalui revisi UU KPK dan pemilihan komisioner yang kontroversial. Kebijakan itu dinilai mengancam pemberantasan korupsi dan kebebasan sipil.
Ketiga, GIAD juga menilai terjadi korupsi politik dan inefisiensi berkelanjutan, pelemahan KPK telah memberi pukulan telak pemberantasan korupsi. Keempat, kebebasan sipil berada dalam ancaman serius. Hal itu terlihat dari penangkapan dan intimidasi yang dialami para aktivis.
“Protes massa dihadapai dengan kekerasan, kritik dihadapi dengan ancaman pemidanaan, dan gerakan mahasiswa dirundung dengan penggembosan. Inilah salah satu titik nadir kebebasan sipil dua dekade terakhir,” turur GIAD.
Kelima, pengabaian hak asasi berlangsung terang benderang. Pemerintah tidak saja gagal memberi penghormatan dan perlindungan memadai terhadap HAM, tapi menjadi salah satu aktor pelanggar HAM lewat ancaman kebebasan sipil.
“Pelanggaran HAM masa lalu semakin jauh dari penyelesaian, bahkan terdapat kecenderungan untuk mengingkarinya secara ironis lewat tindakan-tindakan hukum,” ucap dia.
Dari catatan itu, GIAD memandang harus ada perubahan besar dalam pemerintahan. Kekuasaan gemuk dan memusat di sektor-sektor politik dan ekonomi melahirkan oligarkisme, yang kian sulit untuk ditaklukkan.
Selain revolusi mental dalam ruang-ruang kekuasaan, penguatan civil society menjadi kemendesakan bersama revitalisasi peran media massa. Sementara partai-partai politik menjadi bagian pembusukan demokrasi, perlu kekuatan penyeimbang yang dapat memberi energi perubahan menuju konsolidasi demokrasi. (*)
Loading...
loading...