CMBC Indonesia - Stok Alat Perlindungan Diri (APD) di rumah sakit di berbagai daerah di Indonesia mulai menipis akibat pandemi COVID-19. Pada akhirnya, banyak fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang mengakali kelangkaan dengan menggunakan barang substitusi seperti jas hujan, ada pula yang mengharapkan sumbangan dari masyarakat.
Salah satu fasilitas kesehatan itu adalah RSUD WZ Yohannes, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Padahal, RSUD WZ Yohannes adalah rumah sakit rujukan pemerintah untuk kasus COVID-19.
Tya, seorang dokter rumah sakit itu menuturkan, hingga saat ini APD menjadi barang yang langka. Tak cuma itu, rumah sakit juga membutuhkan viral transport medium (vtm) yang biasa digunakan untuk mengambil swab dan thermal gun untuk mengukur suhu tubuh.
“Buat ini perang yang bisa kami menangkan, bukan misi bunuh diri. Terima kasih,” kata Tya lewat keterangan tertulis yang diterima, Senin (23/3/2020).
RSUD Jailolo Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara juga mengalami problem serupa. Maria Oratmangun, seorang perawat rumah sakit itu mengaku tengah kekurangan disposable gown, goggles, dan hand sanitizer.
RSUD Jailolo memang bukan rumah sakit rujukan untuk COVID-19, tapi ada banyak pasien dengan gejala COVID-19 yang mendatangi rumah sakit tersebut. Meski sebagian pasien telah dipindahkan ke rumah sakit rujukan, tapi jumlah pasien yang mengalami gejala COVID-19 kini terus bertambah.
Sebagai catatan, per 20 Maret 2020 terdapat tiga pasien berstatus dalam pengawasan dan 22 orang dalam pemantauan di Maluku Utara. Hari ini, gugus tugas mengumumkan 1 orang positif COVID-19 di Maluku Utara.
Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhillah, menuturkan, kelangkaan terjadi di seluruh rumah sakit rujukan di Indonesia.
Hal ini sejalan dengan persebaran COVID-19 yang sudah menjalar ke 20 provinsi di Indonesia. Karenanya ia berharap pemerintah dapat menyalurkan stok APD secara proporsional.
“Harapannya terus mengupayakan persediaan APD karena sekali pakai maka memerlukan persediaan yang banyak dan distribusi yang proporsional untuk memenuhi perlindungan tenaga kesehatan,” kata dia saat dihubungi, Senin (23/3/2020). Harapan Harif itu nampaknya masih jauh panggang dari api.
Per 23 Maret 2020, gugus tugas telah mendistribusikan 100 ribu APD yang baru didatangkan. Namun dari jumlah itu seluruhnya didistribusikan untuk kawasan Jawa dan Bali.
Sebanyak 40 ribu di antaranya dibagikan di DKI Jakarta dan pagi tadi telah tiba di Balaikota DKI Jakarta, sementara 25 ribu lainnya dibagikan ke Semarang, DI Yogyakarta, Surabaya, dan Bali hari ini, dan 25 ribu lainnya disebar ke Jawa Barat, Bogor, dan Banten. Sekitar 10 ribu APD sisanya disimpan sebagai cadangan.
“Adapun dalam hal ini pihak penerima distribusi APD di tiap-tiap daerah adalah Komando Daerah Militer sebagai Gugus Tugas Daerah,” kata Kepala Pusdatin BNPB Agus Wibowo lewat keterangan tertulis yang diterima, Senin (23/3/2020).
Padahal, di saat yang sama, persebaran COVID-19 sudah menjalar sampai ke 20 provinsi di Indonesia. Kasus terbanyak memang ada di Jakarta dengan dengan 307 kasus (29 meninggal), disusul Jawa Barat dengan 59 kasus (9 meninggal), Banten 47 kasus (3 meninggal), Jawa Timur 41 kasus (1 meninggal), dan Jawa Tengah 15 kasus (3 meninggal). Namun, kasus di luar Jawa bukan berarti tak bisa disepelekan. Di Kalimantan Timur terdapat 9 kasus positif COVID-19, di Kepulauan Riau ada 4 kasus, Sulawesi Tenggara 3 kasus, dan Bali 3 kasus. Selanjutnya, di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Papua masing-masing ada 2 kasus. Sementara Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Lampung, Riau, dan Maluku masing-masing 1 kasus.
Agus Wibowo menuturkan, pembagian APD dilakukan berdasarkan skala prioritas. Pada Senin (23/3/2020) datang pesawat yang membawa 9 ton APD, tapi dia belum bisa pastikan ke mana saja perlengkapan itu akan didistribusikan.
“Nanti tunggu instruksi ketua gugus [Kepala BNPB, Donni Monardo]” kata Agus.
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengkritisi pembagian APD yang terpusat di Jawa dan Bali. Jika harus memberlakukan skala prioritas, pemerintah harus transparan menjelaskan kriteria suatu daerah dianggap prioritas mendapat APD mengingat korban meninggal pun telah berjatuhan di luar Jawa.
Selain itu, keselamatan para tenaga kesehatan bergantung pada ketersediaan APD. Jika hal itu tidak dipenuhi maka keselamatan masyarakat yang dipertaruhkan.
“Minimnya APD untuk daerah TTT [Terdepan, Terluar, Tertinggal] dapat menyebabkan tenaga kesehatan di wilayah tersebut sangat berisiko terpapar Covid 19 yang akhirnya bisa membuat mereka sakit sehingga tidak bisa lanjut mengobati mereka yang terpapar. Risiko lainnya adalah menambah korban jiwa,” kata Usman saat dihubungi. (tirto)
Loading...
loading...