CMBC Indonesia - Virus Corona tidak hanya memicu gangguan fisik pasien namun juga berdampak pada kesehatan mental. Terdapat beberapa pasien yang cemas, putus asa, depresi bahkan mencoba untuk bunuh diri.
"Saat itu saya berpikir orang yang kena COVID itu seperti orang hidup tapi dianggap mati. Saya berarti akan mati. Saya shock, saya depresi. Badan saya drop, pikiran saya hancur," kata mantan pasien virus Corona Arif Wijaya yang berhasil sembuh kepada wartawan BBC News Indonesia Raja Eben Lumbanrau.
Tenaga medis Rumah Sakit Wisma Atlet menyebut ada pasien yang depresi lalu mencoba lompat bunuh diri karena tertekan.
Menurut dokter kejiwaan hal itu disebabkan karena lemahnya pertahanan mental pasien. Kesehatan mental sangat mempengaruhi pembentukan imun tubuh dalam melawan virus corona.
Pemerintah menyebut persoalan COVID-19 adalah 20% persoalan kesehatan, 80% persoalan psikologis.
'Saya menyerah untuk hidup'
Arif Wijaya adalah satu dari ribuan pasien positif virus Corona yang sembuh. Ia menceritakan bagaimana virus Corona tidak hanya menyerang kesehatan fisik, namun juga pertahanan mentalnya.
Serangan pertama terhadap pertahanan mental Arif dimulai ketika ia menjalani tes hingga dinyatakan positif virus Corona.
"Pertama saat saya ditolak berkali-kali rumah sakit. Saya telat mungkin karena saya sudah tidak ada harapan untuk hidup. Pikiran saya berkecamuk, bagaimana jika saya kena COVID? Saya akan dikucilkan, diisolasi. Orang hidup dianggap mati."
Ditambah lagi, saat itu kondisi fisik Arif sangat lemah. Ia tidak makan dua hari yang menyebabkan tubuhnya lemas dan juga menderita sesak napas.
"Setelah dikasih tahu saya positif. Jantung saya deg-degan, perasaan dan pikiran saya hancur. Saya shock dan stres," katanya.
Serangan virus Corona terhadap pertahanan mental tidak berhenti di situ. Kedua adalah saat menjalani masa isolasi dimana Arif harus berjuang keras untuk hidup.
"Lalu saat diisolasi saya berpikir ini COVID berarti matilah karena saya lihat data yang ada saat itu tidak ada yang sembuh."
"Fisik saya drop sekali, lemas. Salat saja tayamum. Saya merasa sudah tidak kuat lagi. Kemarin saya berpikir ditolak karena tidak ada harapan hidup, sekarang saya sudah ditolong tapi sudah maksimal dan saya sudah tidak bisa bertahan," kata Arif.
Namun, di tengah serangan virus Corona terhadap kesehatan fisik dan mental, Arif mencoba terus bertahan.
Terdapat dua kunci yang menjadi penyemangatnya untuk dapat terus hidup, yaitu berdoa dan berkomunikasi dengan keluarga. Apalagi saat itu, sudah ada informasi bahwa pasien pertama dan kedua yang menderita COVID-19 telah sembuh.
Usai tiga hari melewati masa kritis, kondisi Arif membaik. "COVID tidak membunuh saya, ini hanya ujian. Berdoa dan keluarga itu kunci membangkitkan dan menyemangati saya," katanya.
Pasien COVID-19 mencoba bunuh diri
Tenaga medis yang bertugas di Rumah Sakit Wisma Atlet menceritakan pengalamannya bertemu dengan pasien-pasien yang terganggu mentalnya akibat virus Corona.
"Ada yang mau loncat jendela saking depresinya. Untuk tim perawat melihat dan menyelamatkan. Lalu ada yang mau menggigit perawat."
"Lalu ada yang stres teriak-teriak lalu mau lompat masuk ke apotek saking depresinya," kata tenaga medis Pandu Adji.
Pandu menambahkan ada juga pasien yang memeluk dan berniat menyobek alat perlindungan diri (APD) tenaga kesehatan.
Pandu menambahkan terdapat tenaga kesehatan kejiwaan yang bertugas di Wisma Atlet namun jumlah tersebut tidak sebanding dengan pasien.
"Psikolog berbicara melalui pengeras suara di tiap lantai, memberi wejangan melalui pengeras suara untuk menyejukan hati mereka. Kadang ada yang memerlukan bimbingan ekstra, baru psikolog datang ke kamar. Tapi untuk efisiensi dan takutnya tidak menyeluruh mereka visit-nya, makanya gunakan pengeras suara itu," kata Pandu.
Halusinasi dengar
Tenaga kesehatan Wisma Atlet lainnya yang menangani pasien di high care unit (HCU), Kamal Putra Pratama menyebut terdapat satu pasien yang dirawat paling lama, sampai satu bulan di HCU dan menunjukkan gejala harga diri rendah atau HDR.
"Jadi dia merasa harga diri dia sudah tidak ada dan menarik diri karena penyakit ini, harga diri dia sebagai manusia, ditambah lagi ketika dia pulang ke rumahnya elative vonis, cibiran dari masyarakat sekitar rumah, padahal belum tentu ada cibiran," kata Putra.
Kemudian, Putra mencontohkan ada pasien warga negara asing yang juga mengalami depresi hingga menunjukkan gejala halusinasi dengar.
"Jadi dia mendengar suara-suara apa dan minta untuk dipisahkan. Stressor-nya sudah minggu ketiga di sini ditambah kendala bahasa. Bahasa Inggris dan Indonesia tidak baik. Di situ kami lakukan anamnesa, dan konsultasikan dengan dokter kesehatan jiwa. Tim kesehatan sangat reaktif dan bekerja keras untuk menangani semua pasien," katanya.
Mengapa orang berpikir bunuh diri?
Dokter spesialis psikiatri Danardi Sosrosumihardjo mengatakan seseorang berpikir untuk bunuh diri karena menanggung beban berat yang melebihi kemampuan pertahanan mentalnya.
"Seorang individu yang daya tahannya rapuh saat stres, di luar kekuatannya maka akan jatuh depresi. Yang depresi berat berpotensi memunculkan rasa ingin bunuh diri," katanya.
Danardi menambahkan informasi tentang virus Corona bahwa jumlah penularan dan meninggal dunia semakin bertambah merupakan stressor atau penyebab stress. Jika tidak ditangani maka akan menimbulkan ketidaknyamanan, rasa cemas, paranoid atau curiga. "Jika tidak tertangani baik bisa jadi depresi," katanya.
Kekuatan kesehatan mental seseorang sangat relatif, kata Danardi. Ia mencontohkan ada seseorang mengalami amputasi dan bisa menerima penyakit itu maka depresi tidak akan terjadi.
"Namun sangat mungkin seorang foto model punya satu jerawat di muka dan tidak mengganggu nyawa tapi merasa depresi. Depresi berhubungan dengan daya tahan mental," katanya.
Terdapat beberapa kasus orang memutuskan bunuh diri akibat virus Corona.
Seorang warga negara Korea Selatan, perawat di Italia, dokter di New York memutuskan bunuh diri dengan gantung diri akibat terjangkit virus Corona.
Kepala Staf Presiden Moeldoko mengatakan masalah psikologis lebih besar dibanding persoalan medis di tengah pandemi.
"Laporan Gugus Tugas menyampaikan bahwa persoalan COVID-19 adalah 20% persoalan kesehatan, 80% persoalan psikologis," kata Moeldoko.
Baik Moeldoko maupun Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo mengatakan aspek psikologis merupakan faktor penting dalam menciptakan kekuatan imunitas masyarakat sehingga dapat pulih maupun tercegah dari penularan virus Corona.
Untuk itu, pemerintah menyediakan layanan psikologi untuk Sehat Jiwa atau Sejiwa lewat layanan telepon 119 ext. 8.
"Semoga layanan ini bisa membuat masyarakat terbebaskan dari masalah psikososial dan kesehatan jiwa yang bisa muncul di dalam masyarakat," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Fidiansjah.
64,3 persen alami kecemasan dan depresi
Berdasarkan hasil pemeriksaan masalah psikologi terhadap 1522 orang, sekitar 64,3 persen mengalami gangguan cemas dan depresi.
"Gejalanya rasa takut, khawatir berlebihan, merasa tidak bisa rileks atau nyaman, gangguan tidur, kewaspadaan yang berlebihan," kata Psikiater Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Lahargo Kembaren.
Lahargo melanjutkan, PDSKJI juga menemukan berdasarkan hasil swaperiksa, terdapat 80 persen yang mengalami trauma psikologis terkait kondisi akibat virus Corona.
PDSKJI melakukan swaperiksa terhadap tiga masalah psikologis yaitu kecemasan, depresi, dan trauma psikologis, dengan usia responden berkisar dari 14 hingga 71 tahun yang mana lebih dari 70 persen adalah perempuan.
Tips menjaga kesehatan jiwa
Lahargo membagikan beberapa tips untuk menjaga kesehatan jiwa di tengah wabah virus Corona.
Pertama, batasi informasi yang berlebihan terhadap berita yang belum diketahui kebenarannya karena dapat menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan. Selalu mendapatkan informasi yang akurat dari sumber yang terpercaya.
Kedua, lakukan kegiatan positif untuk mengurangi perasaan tidak nyaman, serta hindari merokok, minum minuman beralkohol.
"Contohnya dengan melakukan teknik relaksasi napas dalam atau progressive muscle relaxation. Kemudian juga mindfulness (meditation). Keterampilan mengatasi emosi bisa digunakan saat ini untuk mengatasi perasaan tidak nyaman," katanya.(dtk)
"Saat itu saya berpikir orang yang kena COVID itu seperti orang hidup tapi dianggap mati. Saya berarti akan mati. Saya shock, saya depresi. Badan saya drop, pikiran saya hancur," kata mantan pasien virus Corona Arif Wijaya yang berhasil sembuh kepada wartawan BBC News Indonesia Raja Eben Lumbanrau.
Tenaga medis Rumah Sakit Wisma Atlet menyebut ada pasien yang depresi lalu mencoba lompat bunuh diri karena tertekan.
Menurut dokter kejiwaan hal itu disebabkan karena lemahnya pertahanan mental pasien. Kesehatan mental sangat mempengaruhi pembentukan imun tubuh dalam melawan virus corona.
Pemerintah menyebut persoalan COVID-19 adalah 20% persoalan kesehatan, 80% persoalan psikologis.
'Saya menyerah untuk hidup'
Arif Wijaya adalah satu dari ribuan pasien positif virus Corona yang sembuh. Ia menceritakan bagaimana virus Corona tidak hanya menyerang kesehatan fisik, namun juga pertahanan mentalnya.
Serangan pertama terhadap pertahanan mental Arif dimulai ketika ia menjalani tes hingga dinyatakan positif virus Corona.
"Pertama saat saya ditolak berkali-kali rumah sakit. Saya telat mungkin karena saya sudah tidak ada harapan untuk hidup. Pikiran saya berkecamuk, bagaimana jika saya kena COVID? Saya akan dikucilkan, diisolasi. Orang hidup dianggap mati."
Ditambah lagi, saat itu kondisi fisik Arif sangat lemah. Ia tidak makan dua hari yang menyebabkan tubuhnya lemas dan juga menderita sesak napas.
"Setelah dikasih tahu saya positif. Jantung saya deg-degan, perasaan dan pikiran saya hancur. Saya shock dan stres," katanya.
Serangan virus Corona terhadap pertahanan mental tidak berhenti di situ. Kedua adalah saat menjalani masa isolasi dimana Arif harus berjuang keras untuk hidup.
"Lalu saat diisolasi saya berpikir ini COVID berarti matilah karena saya lihat data yang ada saat itu tidak ada yang sembuh."
"Fisik saya drop sekali, lemas. Salat saja tayamum. Saya merasa sudah tidak kuat lagi. Kemarin saya berpikir ditolak karena tidak ada harapan hidup, sekarang saya sudah ditolong tapi sudah maksimal dan saya sudah tidak bisa bertahan," kata Arif.
Namun, di tengah serangan virus Corona terhadap kesehatan fisik dan mental, Arif mencoba terus bertahan.
Terdapat dua kunci yang menjadi penyemangatnya untuk dapat terus hidup, yaitu berdoa dan berkomunikasi dengan keluarga. Apalagi saat itu, sudah ada informasi bahwa pasien pertama dan kedua yang menderita COVID-19 telah sembuh.
Usai tiga hari melewati masa kritis, kondisi Arif membaik. "COVID tidak membunuh saya, ini hanya ujian. Berdoa dan keluarga itu kunci membangkitkan dan menyemangati saya," katanya.
Pasien COVID-19 mencoba bunuh diri
Tenaga medis yang bertugas di Rumah Sakit Wisma Atlet menceritakan pengalamannya bertemu dengan pasien-pasien yang terganggu mentalnya akibat virus Corona.
"Ada yang mau loncat jendela saking depresinya. Untuk tim perawat melihat dan menyelamatkan. Lalu ada yang mau menggigit perawat."
"Lalu ada yang stres teriak-teriak lalu mau lompat masuk ke apotek saking depresinya," kata tenaga medis Pandu Adji.
Pandu menambahkan ada juga pasien yang memeluk dan berniat menyobek alat perlindungan diri (APD) tenaga kesehatan.
Pandu menambahkan terdapat tenaga kesehatan kejiwaan yang bertugas di Wisma Atlet namun jumlah tersebut tidak sebanding dengan pasien.
"Psikolog berbicara melalui pengeras suara di tiap lantai, memberi wejangan melalui pengeras suara untuk menyejukan hati mereka. Kadang ada yang memerlukan bimbingan ekstra, baru psikolog datang ke kamar. Tapi untuk efisiensi dan takutnya tidak menyeluruh mereka visit-nya, makanya gunakan pengeras suara itu," kata Pandu.
Halusinasi dengar
Tenaga kesehatan Wisma Atlet lainnya yang menangani pasien di high care unit (HCU), Kamal Putra Pratama menyebut terdapat satu pasien yang dirawat paling lama, sampai satu bulan di HCU dan menunjukkan gejala harga diri rendah atau HDR.
"Jadi dia merasa harga diri dia sudah tidak ada dan menarik diri karena penyakit ini, harga diri dia sebagai manusia, ditambah lagi ketika dia pulang ke rumahnya elative vonis, cibiran dari masyarakat sekitar rumah, padahal belum tentu ada cibiran," kata Putra.
Kemudian, Putra mencontohkan ada pasien warga negara asing yang juga mengalami depresi hingga menunjukkan gejala halusinasi dengar.
"Jadi dia mendengar suara-suara apa dan minta untuk dipisahkan. Stressor-nya sudah minggu ketiga di sini ditambah kendala bahasa. Bahasa Inggris dan Indonesia tidak baik. Di situ kami lakukan anamnesa, dan konsultasikan dengan dokter kesehatan jiwa. Tim kesehatan sangat reaktif dan bekerja keras untuk menangani semua pasien," katanya.
Mengapa orang berpikir bunuh diri?
Dokter spesialis psikiatri Danardi Sosrosumihardjo mengatakan seseorang berpikir untuk bunuh diri karena menanggung beban berat yang melebihi kemampuan pertahanan mentalnya.
"Seorang individu yang daya tahannya rapuh saat stres, di luar kekuatannya maka akan jatuh depresi. Yang depresi berat berpotensi memunculkan rasa ingin bunuh diri," katanya.
Danardi menambahkan informasi tentang virus Corona bahwa jumlah penularan dan meninggal dunia semakin bertambah merupakan stressor atau penyebab stress. Jika tidak ditangani maka akan menimbulkan ketidaknyamanan, rasa cemas, paranoid atau curiga. "Jika tidak tertangani baik bisa jadi depresi," katanya.
Kekuatan kesehatan mental seseorang sangat relatif, kata Danardi. Ia mencontohkan ada seseorang mengalami amputasi dan bisa menerima penyakit itu maka depresi tidak akan terjadi.
"Namun sangat mungkin seorang foto model punya satu jerawat di muka dan tidak mengganggu nyawa tapi merasa depresi. Depresi berhubungan dengan daya tahan mental," katanya.
Terdapat beberapa kasus orang memutuskan bunuh diri akibat virus Corona.
Seorang warga negara Korea Selatan, perawat di Italia, dokter di New York memutuskan bunuh diri dengan gantung diri akibat terjangkit virus Corona.
Kepala Staf Presiden Moeldoko mengatakan masalah psikologis lebih besar dibanding persoalan medis di tengah pandemi.
"Laporan Gugus Tugas menyampaikan bahwa persoalan COVID-19 adalah 20% persoalan kesehatan, 80% persoalan psikologis," kata Moeldoko.
Baik Moeldoko maupun Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo mengatakan aspek psikologis merupakan faktor penting dalam menciptakan kekuatan imunitas masyarakat sehingga dapat pulih maupun tercegah dari penularan virus Corona.
Untuk itu, pemerintah menyediakan layanan psikologi untuk Sehat Jiwa atau Sejiwa lewat layanan telepon 119 ext. 8.
"Semoga layanan ini bisa membuat masyarakat terbebaskan dari masalah psikososial dan kesehatan jiwa yang bisa muncul di dalam masyarakat," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Fidiansjah.
64,3 persen alami kecemasan dan depresi
Berdasarkan hasil pemeriksaan masalah psikologi terhadap 1522 orang, sekitar 64,3 persen mengalami gangguan cemas dan depresi.
"Gejalanya rasa takut, khawatir berlebihan, merasa tidak bisa rileks atau nyaman, gangguan tidur, kewaspadaan yang berlebihan," kata Psikiater Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Lahargo Kembaren.
Lahargo melanjutkan, PDSKJI juga menemukan berdasarkan hasil swaperiksa, terdapat 80 persen yang mengalami trauma psikologis terkait kondisi akibat virus Corona.
PDSKJI melakukan swaperiksa terhadap tiga masalah psikologis yaitu kecemasan, depresi, dan trauma psikologis, dengan usia responden berkisar dari 14 hingga 71 tahun yang mana lebih dari 70 persen adalah perempuan.
Tips menjaga kesehatan jiwa
Lahargo membagikan beberapa tips untuk menjaga kesehatan jiwa di tengah wabah virus Corona.
Pertama, batasi informasi yang berlebihan terhadap berita yang belum diketahui kebenarannya karena dapat menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan. Selalu mendapatkan informasi yang akurat dari sumber yang terpercaya.
Kedua, lakukan kegiatan positif untuk mengurangi perasaan tidak nyaman, serta hindari merokok, minum minuman beralkohol.
"Contohnya dengan melakukan teknik relaksasi napas dalam atau progressive muscle relaxation. Kemudian juga mindfulness (meditation). Keterampilan mengatasi emosi bisa digunakan saat ini untuk mengatasi perasaan tidak nyaman," katanya.(dtk)
Loading...
loading...