KRISIS Kesehatan di dunia, tanpa diduga diawal periode kedua Presiden Jokowi terjadi krisis pandemik Covid-19, wabah corona yang sangat membahayakan dunia yang berasal dari Wuhan, China.
Jokowi praktis menganggap remeh peringatan-peringatan sejak awal mula wabah, serta menunda penyiapan sistem kesehatan secara menyeluruh termasuk mempersiapkan fasilitas uji kesehatan sejak dini.
Krisis Ekonomi di Indonesia, sebenarnya jauh sebelum pandemik Covid-19 sudah diperkirakan oleh para ahli ekonomi diantaranya oleh begawan ekonomi Rizal Ramli, dengan berbagai defisit dan ratio pajak yang sangat jauh dan terburuk sejak 1998.
Namun, pemerintah Jokowi sibuk membela diri dan menyalahkan perang dagang antara China dengan USA, padahal beberapa negara seperti Vietnam malah surplus.
Dalam menanggapi pandemik, Jokowi cenderung menghambat suara penelitian dan peneliti dengan tujuan melindungi agenda ekonomi dan politik di atas keselamatan rakyat.
Hal ini membuat Jokowi bertentangan dengan suara para ilmuwan. Jokowi tidak mendengarkan apa kata ilmu pengetahuan, dan merelakan ilmu pengetahuan menuntun keputusan-keputusan krusial pemerintah dalam krisis Covid-19.
Keputusan Ambigu seperti tidak jelasnya larangan mudik dan pulang kampung, ditengah–tengah PSBB mengeluarkan kebijakan memberi izin beroperasinya angkutan darat, laut dan udara. Padahal kurva pandemik masih menjulang. Belum mencapai titik klimaksnya.
Rakyat kemudian dikorbankan dalam kebijakan ekstrem. Karena terlambat membalik arah kebijakan, kemudian terjebak pilihan menerapkan kebijakan tangan besi.
Seperti tidak menurunkan harga BBM, memaksakan kenaikan iuran BPJS, kebijakan umur dibawah 45 tahun bisa bekerja.
Meanakemaskan kalangan pengusaha/pebisnis/pedagang bebas bepergian, padahal virus corona tidak membedakan status jabatan. Memaksakan TKA China bekerja di Indonesia.
Padahal puluhan juta rakyat menganggur, di PHK dan kehilangan mata pencarian karena wabah Covid-19.
Pemimpin populis memiliki kemampuan mengeksplotasi pandemik dengan memanfaatkan krisis untuk keuntungan politik dan mempertahankan kekuasaan semata.
Jokowi adalah pemimpin populis bisa dilihat dari tindakan dan kebijakan serta keputusan yang diambil berupa Perppu dan Perpres cenderung membentengi kekuasaan untuk dapat berbuat semaunya tanpa dapat dikontrol serta melindungi elit kekuasaan untuk bisa/akan berbuat koruptif tanpa bisa dituntut secara hukum.
Sangat disadari pemimpin adalah bahagian terpenting dalam kehidupan masyarakat. Apalagi dimasa krisis, bahkan dobel krisis.
Tanpa kepemimpinan yang baik dan tepat masa, maka kita pun akan sulit menuju harapan terjaminnya kesehatan dan ekonomi rakyat.
Pemimpin harus sibuk berfikir dan bertindak agar rakyatnya dapat hidup cukup sandang, pangan, papan, serta terjamin kesehatan, pendidikan dan keamanannya.
Memang betul bahwa dalam masa krisis rakyat harus juga memelihara diri, dengan mematuhi protocol kesehatan.
Namun itu hanya sebagaian kecil yakni 10-30 persen dan sisanya sekitar 70-90 persen sangat tergantung kepada peran kepemimpinan.
Beberapa krisis yang terjadi perlu dikelola dengan perasaan empati yang tinggi. Apabila menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang ada tanpa rasa empati, maka semuanya akan semakin kacau balau, terlihat dari kenaikan BPJS terjadi kehebohan secara nasional.
Pemimpin akan selalu berkorelasi dengan tanggung jawab. Sebab, tanggung jawab itu menjadi domain kuasa terhadap apa yang dipimpinnya.
Jika kemudian Jokowi sebagai pemimpin tertinggi tidak bisa memainkan atau tepatnya memerankan tanggung jawab itu, maka kredibilitas Jokowi harus di pertanyakan.
Dari analisis diatas dapat disimpulkan bahwa Jokowi adalah pemimpin populis yang tidak cocok dimasa krisis.
Jika tetap bertahan akan membuat lama nya pemulihan paska pandemik, dan akan lama pemulihan ekonomi dan akan semakin lama penderitaan rakyat Indonesia.
Oleh: Syafril Sjofyan
Jokowi praktis menganggap remeh peringatan-peringatan sejak awal mula wabah, serta menunda penyiapan sistem kesehatan secara menyeluruh termasuk mempersiapkan fasilitas uji kesehatan sejak dini.
Krisis Ekonomi di Indonesia, sebenarnya jauh sebelum pandemik Covid-19 sudah diperkirakan oleh para ahli ekonomi diantaranya oleh begawan ekonomi Rizal Ramli, dengan berbagai defisit dan ratio pajak yang sangat jauh dan terburuk sejak 1998.
Namun, pemerintah Jokowi sibuk membela diri dan menyalahkan perang dagang antara China dengan USA, padahal beberapa negara seperti Vietnam malah surplus.
Dalam menanggapi pandemik, Jokowi cenderung menghambat suara penelitian dan peneliti dengan tujuan melindungi agenda ekonomi dan politik di atas keselamatan rakyat.
Hal ini membuat Jokowi bertentangan dengan suara para ilmuwan. Jokowi tidak mendengarkan apa kata ilmu pengetahuan, dan merelakan ilmu pengetahuan menuntun keputusan-keputusan krusial pemerintah dalam krisis Covid-19.
Keputusan Ambigu seperti tidak jelasnya larangan mudik dan pulang kampung, ditengah–tengah PSBB mengeluarkan kebijakan memberi izin beroperasinya angkutan darat, laut dan udara. Padahal kurva pandemik masih menjulang. Belum mencapai titik klimaksnya.
Rakyat kemudian dikorbankan dalam kebijakan ekstrem. Karena terlambat membalik arah kebijakan, kemudian terjebak pilihan menerapkan kebijakan tangan besi.
Seperti tidak menurunkan harga BBM, memaksakan kenaikan iuran BPJS, kebijakan umur dibawah 45 tahun bisa bekerja.
Meanakemaskan kalangan pengusaha/pebisnis/pedagang bebas bepergian, padahal virus corona tidak membedakan status jabatan. Memaksakan TKA China bekerja di Indonesia.
Padahal puluhan juta rakyat menganggur, di PHK dan kehilangan mata pencarian karena wabah Covid-19.
Pemimpin populis memiliki kemampuan mengeksplotasi pandemik dengan memanfaatkan krisis untuk keuntungan politik dan mempertahankan kekuasaan semata.
Jokowi adalah pemimpin populis bisa dilihat dari tindakan dan kebijakan serta keputusan yang diambil berupa Perppu dan Perpres cenderung membentengi kekuasaan untuk dapat berbuat semaunya tanpa dapat dikontrol serta melindungi elit kekuasaan untuk bisa/akan berbuat koruptif tanpa bisa dituntut secara hukum.
Sangat disadari pemimpin adalah bahagian terpenting dalam kehidupan masyarakat. Apalagi dimasa krisis, bahkan dobel krisis.
Tanpa kepemimpinan yang baik dan tepat masa, maka kita pun akan sulit menuju harapan terjaminnya kesehatan dan ekonomi rakyat.
Pemimpin harus sibuk berfikir dan bertindak agar rakyatnya dapat hidup cukup sandang, pangan, papan, serta terjamin kesehatan, pendidikan dan keamanannya.
Memang betul bahwa dalam masa krisis rakyat harus juga memelihara diri, dengan mematuhi protocol kesehatan.
Namun itu hanya sebagaian kecil yakni 10-30 persen dan sisanya sekitar 70-90 persen sangat tergantung kepada peran kepemimpinan.
Beberapa krisis yang terjadi perlu dikelola dengan perasaan empati yang tinggi. Apabila menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang ada tanpa rasa empati, maka semuanya akan semakin kacau balau, terlihat dari kenaikan BPJS terjadi kehebohan secara nasional.
Pemimpin akan selalu berkorelasi dengan tanggung jawab. Sebab, tanggung jawab itu menjadi domain kuasa terhadap apa yang dipimpinnya.
Jika kemudian Jokowi sebagai pemimpin tertinggi tidak bisa memainkan atau tepatnya memerankan tanggung jawab itu, maka kredibilitas Jokowi harus di pertanyakan.
Dari analisis diatas dapat disimpulkan bahwa Jokowi adalah pemimpin populis yang tidak cocok dimasa krisis.
Jika tetap bertahan akan membuat lama nya pemulihan paska pandemik, dan akan lama pemulihan ekonomi dan akan semakin lama penderitaan rakyat Indonesia.
Oleh: Syafril Sjofyan
Loading...
loading...