CMBC Indonesia -Sejumlah buruh berunjuk rasa di depan pabrik plywood atau kayu lapis Desa/Kecamatan Diwek, Jombang. Mereka menuntut pembayaran tunjangan hari raya (THR) dan upah karyawan yang dirumahkan. Massa juga menolak pengesahan RUU Cipta Kerja dan menyebut omnibus law tersebut lebih kejam daripada virus Corona.
Belasan buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh Plywood Jombang-Gabungan Serikat Buruh Indonesia (SBPJ-GSBI) ini berorasi di depan pabrik kayu lapis PT Sumber Graha Sejahtera (SGS). Dalam aksinya, mereka juga membentangkan sejumlah poster bernada protes.
Poster-poster tersebut antara lain bertuliskan 'Buruh Tidak Butuh Omnibus Law RUU Cipta Kerja', 'Omnibus Law RUU Cipta Kerja Lebih Jahat dari Virus Corona', 'Omnibus Law RUU Cipta Kerja Lebih Kejam dari Lintah Darat', 'Omnibus Law RUU Cipta Kerja Undang-undang Sampah', 'Bayar Hak THR Kami Beserta Denda Keterlambatannya', serta 'Bayarkan Upah Buruh yang Dirumahkan'.
Sekretaris PTP SBPJ-GSBI Jombang Hadi Siswanto mengatakan, pihaknya menolak pengesahan RUU Cipta Kerja karena merugikan kaum buruh. Menurut dia, selama ini sudah banyak pelanggaran yang dilakukan para pengusaha terhadap UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pelanggaran tersebut akan lebih parah jika rancangan undang-undang sapu jagat Cipta Kerja disahkan.
"Buruh tidak butuh omnibus law, buruh butuh kesejahteraan. Kalau memang pemerintah ingin mendatangkan investasi, bukan begini caranya, bukan dengan menjual buruhnya atau rakyatnya," kata Hadi kepada wartawan di lokasi unjuk rasa, Kamis (16/7/2020).
Tidak hanya itu, dalam demonstrasi kali ini pihaknya juga menuntut PT SGS segera membayar THR 32 karyawan. Menurut dia, sampai hari ini, manajemen pabrik kayu lapis itu belum membayar THR puluhan karyawan tersebut. Massa buruh meminta THR dibayar beserta denda keterlambatannya.
Mereka juga mendesak PT SGS membayar upah 19 karyawan yang dirumahkan. Menurut dia, manajemen pabrik plywood merumahkan belasan buruh tersebut karena menderita kerugian akibat pandemi COVID-19.
Bipartit di PT SGS ini seperti hanya formalitas saja. Karena ending Bipartit itu perusahaan tetap memaksa merumahkan karyawan tanpa dibayar. Juga terjadi dalam pembayaran THR 32 buruh. Perusahaan tetap memaksa menyicil pembayaran THR, itu tanpa disertai laporan keuangan," ungkap Hadi.
Hadi menuding PT SGS memaksa karyawan agar mau menerima THR sebesar 50 persen dari upah mereka sebulan. Jika tidak, perusahaan mengancam tidak akan membayar THR 32 buruh.
"Yang dirumahkan pesangonnya dicicil selama 1,5 tahun dengan alasan COVID-19. Kalau memang di-PHK harusnya pesangon diberikan. Besarannya sekitar Rp 43 juta per karyawan. Dicicil sampai Desember 2021. Baru dicicil dua bulan, Juni dan Juli. Nilai cicilannya 50 persen dari UMK yaitu Rp 1.350.000 per bulan," jelasnya.
Sementara Kasi HRD PT SGS Heri Satrio menampik manajemen perusahaannya menabrak aturan terkait penundaan pembayaran THR karyawan. Menurut dia, pemerintah membolehkan perusahaan menunda pembayaran THR karena terjadi pandemi COVID-19.
"Karyawan yang dirumahkan sudah sesuai dengan pemberitahuan ke masing-masing karyawan tersebut. Statusnya masih karyawan, namanya dirumahkan. Kalau sudah ada titik temu baru statusnya di-PHK," pungkasnya.(dtk)
Loading...
loading...