CMBC Indonesia - Presiden Joko Widodo menyebut Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) akan dapat mencegah korupsi karena menyederhanakan perizinan.
Namun karena sejak disahkan pada Senin 5 Oktober lalu sampai sekarang dokumen finalnya belum tersedia, pernyataan ini tak bisa diverifikasi.
Klaim ini dikatakan Jokowi saat berpidato di Istana Presiden, Jakarta, Jumat (9/10/2020) lalu.
Menurutnya UU Ciptaker dapat mendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi, terutama pungutan liar, karena ia “menyederhanakan dengan memotong, dengan mengintegrasikan perizinan secara elektronik.”
Terdapat sejumlah versi draf UU Ciptaker yang saat ini beredar luas. Pertama adalah versi di laman resmi Sekretariat Jenderal DPR yang telah ada sejak Maret 2020 yang tebalnya 1.028 halaman.
Kemudian ada versi yang beredar menjelang pengesahan yakni 905 halaman. Lalu ada versi 1.052 halaman yang diklaim sudah bersih dari kesalahan pengetikan.
Terbaru ada versi 1.035 halaman yang disebut-sebut sebagai versi yang akan diserahkan ke Presiden. Namun versi terakhir itu pun belum juga dipublikasikan secara resmi sebagai dokumen final.
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar berkata naskah UU Ciptaker yang disahkan dalam sidang paripurna setebal 905 halaman.
Namun, setelah direvisi non-substansial, jumlahnya jadi setebal 1.035 halaman. “Hanya [memperbaiki] typo dan format. Format dirapikan,” kata Indra, Senin (12/10/2020).
Mengenai naskah UU Cipta Kerja setebal 1.052 halaman bertanggal 9 Oktober, Indra berkata “tidak tahu.”
Masyarakat yang berupaya mengkritisi isi draf UU berbekal publikasi awal dari laman resmi Sekretariat Jenderal DPR dan berbagai sumber lain dicap menyebarkan hoaks.
Beberapa orang bahkan ditangkap polisi. Belum adanya naskah final yang dipublikasikan ini membuat publik tak bisa berpartisipasi memverifikasi segala klaim yang didengungkan pemerintah soal berbagai macam kebaikan UU ini, termasuk menghapus pungutan liar.
“Bagaimana mau berpartisipasi kalau naskah akademiknya disembunyikan atau mana draf yang tidak jelas, mana yang asli, mana yang setengah asli, mana yang palsu, mana draf yang aktual, mana yang tengah, dan mana yang akhir?" kata pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Padang Fery Amsyari kepada reporter Tirto, Kamis (8/10/2020) lalu.
Fery menyimpulkan undang-undang sapu jagat ini cacat prosedural. Ia melanggar Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang terang menyatakan salah satu asas penyusunan undang-undang adalah keterbukaan.
Semestinya, sejak proses penyusunan, naskah akademik dan draf rancangan undang-undang terbaru selalu dibagikan ke publik. Jika tidak dilakukan, akan berakibat pada hilangnya hak partisipasi masyarakat. Sikap tersebut berkonsekuensi hukum.
“Dari sudut administrasi, kalau tidak taat prosedur maka produk yang dihasilkan itu cacat atau dianggap tidak pernah ada. Konsekuensinya batal demi hukum,” kata dia.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai segala narasi yang dibangun oleh pemerintah tentang UU Ciptaker merupakan sebuah tindakan “penyesatan informasi” sebab mereka memberikan narasi sebelum memegang draf final.
“Kalau [draf final] baru mau dikirim [ke Presiden], maka UU tersebut belum ada di tangan Pemerintah,” kata Asfinawati kepada reporter Tirto, Senin (12/10/2020).
Potensi Kewenangan yang Koruptif Selain dianggap menyesatkan informasi, klaim Jokowi dinilai oleh para akademisi tak sepenuhnya benar, setidaknya jika merujuk pada isi draf UU Ciptaker 905 halaman yang beredar dan oleh Sekjen DPR disebut “tak berubah substansinya.”
Pengurus Harian Perhimpunan Dosen Ilmu Hukum Pidana Indonesia (DIHPA) Azmi Syahputra memaparkan ada sejumlah pasal terutama dalam Bab X tentang Investasi Pemerintah Pusat dan Kemudahan Proyek Strategis Nasional yang berpotensi bertabrakan dengan berbagai aturan pemidanaan khususnya terkait pemberantasan korupsi.
Contohnya pasal 163 yang mengatur tentang lembaga keuangan pengelola investasi. Disebutkan bahwa Menteri Keuangan, pejabat Kementerian Keuangan, dan organ dan pegawai lembaga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian investasi.
Klausul “tidak bisa diminta pertanggungjawaban hukum” ini, kata Azmi kepada reporter Tirto, Senin, sama saja seperti “membuat UU kekebalan hukum.”
Dana negara yang dikelola oleh lembaga tersebut tak sedikit, disebut-sebut tak kurang dari Rp15 triliun. Dalam pasal tersebut terdapat empat kriteria mereka yang tak bisa dimintai pertanggungjawaban hukum, yakni kerugian bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian sesuai dengan maksud dan tujuan investasi dan tata kelola; tidak memiliki benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengelolaan investasi; dan tidak memperoleh keuntungan pribadi secara tidak sah.
Poin terakhir soal “tidak menguntungkan pribadi” ini menjadi pertanyaan.
“Bagaimana kalau dia menguntungkan orang lain? Inilah yang kami maksud mendisfungsikan UU tentang Tindak Pidana Korupsi,” ujarnya.
Lembaga pengelola investasi ini dimodali negara, namun Azmi menilai lembaga tersebut, di dalam UU Ciptaker, dibikin tidak patuh dan tunduk pada UU Pengelolaan Keuangan Negara dan UU Kekayaan Negara termasuk BUMN.
Penyebabnya adalah klausul bahwa semua UU tersebut tak berlaku bagi lembaga itu.
Akibatnya, “tidak akan bisa dikenakan tindak pidana korupsi karena penegak hukum pidana dipastikan tidak bisa masuk.” (tirto)