Oleh:Tony Rosyid
DALAM setiap partai, selain platform dan narasi, dibutuhkan juga ikon. Tokoh kharismatik yang punya pengaruh dan mampu mengkonsolidasikan massa. Terutama partai yang mengandalkan ketokohan atau figur.
Tokoh itu bisa satu, bisa lebih dari satu. Di Gerindra ada Prabowo. Di Demokrat ada SBY. Di PDIP ada Megawati. Di PPP ada KH Maemoen Zubair. Mereka adalah simbol partai.
KH Maemoen Zubair (almarhum) telah jadi ikon PPP sejak lama. Ketika PKB berdiri 23 Juli 1998, suara PPP di basis NU terancam. Terjadi penggembosan besar-besaran terhadap PPP.
Banyak sekali Kiai kharismatik dan berpengaruh NU yang hijrah ke PKB. Termasuk KH Maruf Amin yang saat ini menjadi wakil presiden. Situasi saat itu jadi pukulan cukup berat bagi PPP. Sebab, massa PPP juga ikut hijrah besar-besaran ke PKB.
Ulama berpengaruh yang masih tinggal dan istiqamah di PPP salah satunya adalah KH Maemoen Zubair. Pengasuh pesantren Al-Anwar Sarang Rembang ini memilih untuk "nguri-nguri" PPP.
Sang kiai kharismatik telah wafat saat haji dua tahun lalu. Sepeninggal beliau, PPP dianggap mulai melupakan jasanya. Tak lagi menghitung pengaruh sang kiai. Indikatornya? Putera-putera sang kiai disingkirkan dari PPP.
Mula-mula Gus Wafi, yang pernah menjadi Ketua PPP Jawa Tengah, sudah digusur. Lalu Gus Yasin. Wagub Jawa Tengah ini tampaknya juga dibuang dan namanya tidak diakomodir di dalam kepengurusan PPP pusat yang baru.
PPP lupa bahwa 100% santri Sarang, khususnya alumnus Al-Anwar, khidmatnya kepada kiai sangat tinggi. Mereka nyoblos PPP bukan karena partai Kabah ini jadi pilihan ideal. Tidak!
Mereka coblos PPP alasannya cuma satu: "mengikuti pilihan politik sang kiai". Psikologi seperti ini berlaku hampir di semua pesantren salaf.
Sepeninggal KH Maemoen Zubair, hanya tinggal Gus Wafi dan Gus Yasin yang paling intens melakukan konsolidasi para alumni Sarang. Gus Wafi keliling di hampir semua wilayah untuk mengisi pengajian para santri yang tergabung dalam Forum Alumni Santri Sarang (FASS).
Selain Gus Najih, Gus Said dan para penerus ulama Sarang yang lain. Sementara Gus Yasin diwasiati kiai Maemoen untuk berkiprah di politik.
Khusus dalam konsolidasi, peran mereka berdua belum bisa digantikan yang lain. Meski posisi Sekjen PPP diisi Arwani yang juga berasal dari Rembang, namun Arwani tak punya ikatan emosional dan pengaruh sama sekali terhadap alumni pesantren Sarang.
Arwani bukan alumni pesantren Sarang, dan cenderung tidak dikenal oleh para alumni, kecuali hanya segelintir orang.
Di tengah terpuruknya suara PPP saat ini, langkah dan strategi yang tepat adalah merangkul semua kekuatan pendukung. Melupakan semua friksi yang pernah ada di internal partai.
Untuk sementara, demi menyelamatkan PPP, semua pihak mesti bersatu atau disatukan. Mengakomodir semua kader yang memiliki basis massa.
Merangkul, bukan menggusur. Apalagi yang digusur adalah putra-putra KH Maemoen Zubair. Berisiko terhadap dukungan massa, khususnya di Jateng dan Jatim. Nah, dalam hal ini, peran ketua umum sangat sentral.
Jika Gus Wafi, terutama Gus Yasin yang sekarang jadi kiblat dan kebanggaan para alumni Sarang juga disia-siakan peran pentingnya di PPP, hampir pasti mayoritas alumni Sarang akan tarik dukungan dari PPP. Termasuk "Muhibbin" atau orang-orang yang mengidolakan KH Maemoen Zubair.
Ini psikologi santri yang akan tersinggung dan marah ketika kiai atau keluarga kiai dirasa terzalimi. Ketum PPP mesti memahami psikologi semacam ini.
Santri Sarang bukan satu-satunya komunitas terbesar di PPP. Tapi, mengabaikan santri Sarang akan cukup berpengaruh terhadap perolehan suara PPP.
Bagi partai lain, ini keberuntungan. Boleh jadi, cabut dari PPP, santri Sarang akan berhijrah dan dukung partai lain.
PPP mesti sadar jika parliamentary threshold 5% dalam rancangan UU Pemilu disahkan, maka nasib PPP akan semakin berat untuk bisa bertahan.
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
Loading...
loading...