CMBC Indonesia - Indonesian Corruption Watch (ICW) menanggapi soal mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo divonis hakim 5 tahun penjara karena terbukti menerima suap terkait ekspor benur sebesar Rp 25,7 miliar. ICW mengatakan Edhy seharusnya menerima vonis 20 tahun penjara.
"Patut untuk diingat, saat melakukan praktik korupsi Edhy sedang mengemban status sebagai pejabat publik, sehingga berdasarkan Pasal 52 KUHP seharusnya dikenakan pemberatan hukuman.
Tidak cukup di situ, kejahatan tersebut juga dilakukan di tengah masyarakat yang sedang berjuang menghadapi pandemi COVID-19. Jadi, bagi ICW, Edhy sangat pantas untuk diganjar vonis maksimal, setidaknya 20 tahun penjara," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Jumat (16/7/2021).
"Pencabutan hak politik itu pun terasa amat ringan, mestinya pidana tambahan itu dapat diperberat hingga 5 tahun lamanya," sambungnya
Kurnia mengatakan putusan vonis 5 tahun terhadap Edhy itu menggambarkan kepada masyarakat bahwa keputusan hakim tidak menunjukkan keadilan. KPK, kata Kurnia pun tentu memiliki keinginan yang sama yakni sama-sama yakni menjatuhkan Edhy dalam penjara selama 5 tahun.
"Putusan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang baru saja dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menggambarkan kepada publik betapa lembaga kekuasaan kehakiman dan penegak hukum benar-benar tidak lagi bisa diandalkan untuk memperjuangkan keadilan," kata Kurnia.
"Sebab, baik KPK maupun majelis hakim, sama-sama memiliki keinginan untuk memperingan hukuman koruptor. Sebagaimana diketahui, hukuman 5 tahun penjara itu serupa dengan tuntutan jaksa penuntut umum KPK," tambahnya.
Kurnia juga mengatakan bahwa sesuai dengan pasal yang berlaku dengan Edhy menerima suap sebesar itu, Edhy mendapatkan hukuman minimal 4 tahun penjara. Namun, Edhy hanya mendapatkan 1 tahun di atas minimal hukuman.
"Logika putusan itu jelas keliru, sebab, hakim membenarkan penerimaan sebesar Rp 24,6 miliar ditambah USD 77 ribu, namun kenapa justru vonisnya sangat ringan? Pasal 12 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan jerat pidana penjara minimal kepada koruptor adalah 4 tahun penjara," katanya.
"Maka dari itu, vonis Edhy hanya satu tahun di atas minimal hukuman berdasarkan ketentuan tersebut. Putusan itu dapat dianggap benar jika Edhy hanya menerima puluhan juta rupiah dari para pemberi suap dan menyandang status sebagai justice collaborator, namun ini berbeda, yang ia korup mencapai puluhan miliar rupiah dan hingga sekarang tidak kunjung mengakui perbuatannya," sambungnya.
ICW juga mendesak KPK agar menyelidiki adanya dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh Edhy Prabowo. Kurnia juga yakin bahwa persidangan mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara juga akan sama nasibnya dengan Edhy.
"Idealnya saat ini KPK harus segera menerbitkan surat perintah penyelidikan atas dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh para pelaku. Beberapa bukti awal sudah terlihat jelas dalam persidangan. Misalnya, modus menggunakan pihak lain sebagai pembeli properti guna menyamarkan aset hasil kejahatan atau bahkan meminjam rekening orang ke tiga untuk menerima sejumlah penerimaan suap," ujarnya.
"Dalam waktu yang tak lama lagi, persidangan perkara lain, yakni Juliari P Batubara juga akan memasuki pembacaan surat tuntutan. ICW yakin, tuntutan Juliari pasti akan serupa, atau bahkan mungkin lebih rendah, dibandingkan dengan Edhy Prabowo," tambahnya.
Sebelumnya, Edhy Prabowo divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan. Edhy Prabowo terbukti bersalah menerima uang suap yang totalnya mencapai Rp 25,7 miliar dari pengusaha eksportir benih bening lobster (BBL) atau benur.
"Mengadili, menyatakan Terdakwa Edhy Prabowo terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa 5 tahun dan pidana denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan," ujar hakim ketua Albertus Usada di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (15/7).
Adapun hal yang meringankan adalah Edhy sopan dan belum pernah dihukum serta sebagian aset yang diperoleh dari korupsi telah disita. Sedangkan hal yang memberatkannya adalah Edhy dianggap tidak mendukung program pemerintah, Edhy juga dianggap tidak memberi teladan yang baik sebagai pejabat dan telah menikmati hasil korupsi.
Hakim mengatakan Edhy menerima suap melalui beberapa anak buahnya, yakni Ketua Tim Uji Tuntas Perizinan Budi Daya Lobster Andreau Misanta Pribadi, dan Safri selaku stasfus Edhy dan Wakil Ketua Tim Uji Tuntas, Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy, dan Ainul Faqih selaku staf pribadi istri Edhy Iis Rosita Dewi, serta Siswadhi Pranoto Loe selaku Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PT PLI) dan pemilik PT Aero Citra Kargo (PT ACK).(detik)
Loading...
loading...