Oleh: Djono W. Oesman*
INI sepele. Penulisan almamater Jaksa Agung, Dr ST Burhanuddin, beda antara yang sudah terpublikasi, dengan yang baru dipublikasi. Pakar hukum tata negara, Dr Refly Harun: "Jika ijazah S 1 Burhanuddin palsu, maka semua gelarnya harus dicopot."
Dan, lanjutnya, Presiden Jokowi didesaknya, harus memberhentikan ST Burhanuddin sebagai Jaksa Agung, karena membohongi publik.
Refli kepada pers, Kamis (23/9/21): "Tapi ini kalau (palsu). Sekali lagi kalau (palsu). Karena itu harus diverifikasi secara sungguh-sungguh kebenaran data yang bersangkutan."
Menurutnya, klarifikasi dari Burhanuddin pun tidak cukup. Melainkan harus ada investigasi secara independen.
Refli: "Termasuk, pernyataan dari institusi atau lembaga yang dituliskannya. Intinya harus dicari kebenaran materialnya."
Soal ini menyebar ke mana-mana. Di media massa dan media sosial, heboh. Para pengamat, girang berkomentaran.
Pengamat Pendidikan, Doni Koesoemo kepada pers, Kamis (23/9/21) mengaku heran. Secara administrasi kepegawaian, seharusnya ada verifikasi terkait latar belakang lulusan dan data-data resmi valid yang diakui sesuai Undang-undang untuk menjadi pejabat negara.
Doni: "Karena, kalau individu tidak berkualifikasi mempergunakan informasi palsu, maka ini sudah merupakan tindakan kriminal."
Dilanjut: "Karena, hal itu menjadi tidak adil bagi orang lain dengan kualifikasi sama, tapi tidak terseleksi."
Lanjut lagi: "Data di kepegawaian harus lengkap. MenPANRB, dan BKN harus meminta klarifikasi untuk verifikasi tentang validitas data. Apakah ini masalah administrasi, atau mal-administrasi?"
Seandainya mal-administrasi, atau pemalsuan data, menurutnya, maka jabatan Burhanuddin sekarang harus dinyatakan tidak sah, dan dibatalkan.
Lain lagi. Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Dr Mudzakir, kepada pers, Selasa (21/9/21) mengatakan, itu harus ditelusuri.
Mudzakir: "Harus... itu ditelusuri dengan benar. Biasanya kan ada bukti-bukti. Saya rasa bisa dilacak. Ini S1 di mana terus gelar berikutnya di mana, kan jadi bingung kalau beda-beda."
Pokok masalah, adalah data almamater Burhanuddin. Begini:
Di buku Laporan Tahunan Kejaksaan Agung RI, 2012, saat itu Burhanuddin menjabat Jaksa Agung Muda Perdata dan TUN (Jamdatun). Data pendidikan:
- Gelar S1, Sarjana Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 1983.
- Gelar S2, Magister Manajemen, Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
- Gelar S3, Doktor dari Universitas Satyagama, Jakarta, 2006.
Tidak ada penjelasan program doktoral Universitas Satyagama. Sedangkan, Universitas Satyagama (dikutip dari www.satyagama.ac.id) hanya membuka satu program doktoral: Ilmu Pemerintahan.
Program Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama terakreditasi BAN-PT Predikat (B) No : 1264/SK/BAN-PT/Akred/D/XII/2015.
Beda pula. Di akun Instagram resmi Kejaksaan Agung @Kejaksaan.RI pada tanggal 29 Oktober 2019. Waktu itu Burhanuddin baru enam hari sejak dilantik Presiden Jokowi sebagai Jaksa Agung.
Di situ ada riwayat pendidikan formal, yaitu:
- Sarjana Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang Tahun 1980.
- Magister Manajemen, Universitas Indonesia, Jakarta, Tahun 2001.
- Doktor, Universitas Indonesia, Jakarta tahun 2006.
Kemudian Berubah
Data tersebut kemudian berubah. Saat Burhanuddin dianugerahi gelar kehormatan sebagai profesor (guru besar) ilmu hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Jawa Tengah.
Penganugerahan gelar Profesor Burhanuddin dilaksanakan di Auditorium Graha Widyatama, Unsoed, Purwokerto, Jumat (10/9/21). Data pendidikan Burhanuddin, jadi begini:
- Strata I di Universitas 17 Agustus di Semarang.
- Strata II di Sekolah Tinggi Manajemen Labora di DKI Jakarta.
- Strata III di Universitas Satyagama di DKI Jakarta.
Sudah diklarifikasi oleh Kejaksaan Agung. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung RI, Leonard Eben Ezer dalam keterangan pers, Kamis (23/9/2021) menyatakan:
Bahwa data pendidikan formal Jaksa Agung Burhanuddin, adalah sama dengan yang tercantum di penganugerahan gelar profesor di Universitas Jenderal Soedirman.
Leonard: "Dokumen dan data pendidikan pada butir 2 di atas adalah sama dengan yang dipergunakan pada acara pengukuhan sebagai Guru Besar Tidak Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Pidana di Universitas Jenderal Soedirman. Dari penjelasan di atas, Puspenkum Kejaksaan Agung telah memberikan pelurusan atas pemberitaan dimaksud."
Dijelaskan Leonard, berdasarkan dokumen dan data resmi tercatat di Biro Kepegawaian Kejaksaan Republik Indonesia, Jaksa Agung menjalani pendidikan di 3 universitas:
Strata I di Universitas 17 Agustus di Semarang, Strata II di Sekolah Tinggi Manajemen Labora di DKI Jakarta dan Strata III di Universitas Satyagama di DKI Jakarta.
Jadi, klop dengan data yang terpublikasi saat penganugerahan gelar profesor di Unsoed, Purwokerto.
Penjelasan Leonard benar. Setidaknya, wartawan mengkonfirmasi soal ini ke Humas Universitas Indonesia (UI), Mariana, bahwa tidak ada nama Burhanuddin di Program Magister Manajemen, Universitas Indonesia, lulusan tahun 2001.
Mariana: "Berikut datanya, dengan kata kunci: Burhanuddin dan lulusan program studi magister manajemen. Hanya ada data atas nama Muhammad Ikhsan Burhanuddin yang telah lulus pada tahun 2018."
Wartawan juga mengkonfirmasi pihak Universitas Diponegoro, Semarang. Menghubungi Humas Universitas Diponegoro, Nuswantoro. Tapi, Nuswantoro menyarankan wartawan mengakses data alumni Undip di Pusat.
Nuswantoro: "Soalnya data itu biasanya di pusat. Saya hanya di fakultas."
Ini persoalan sepele. Kecil. Jangan dibesar-besarkan.
Seperti halnya, banyak sarjana malu-malu (tepatnya, kurang pede) menyebutkan nama almamaternya, jika dari universitas swasta. Karena, yang dianggap bergengsi adalah universitas negeri.
Sikap begitu tidak pada Burhanuddin. Terbukti, ia menyebutkan dengan percaya diri, almamaternya, meski swasta.
(*Penulis adalah wartawan senior.)
Loading...
loading...