CMBC Indonesia - Dua tahun kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin dianalisa oleh pengamat politik Muslim Arbi dan Satyo Purwanto. Ada sikap rada-rada preman hadapi kritik dan juga buzzer.
Diketahui, Jokowi-Ma’ruf Amin dilantik jadi presiden dan wapres pada 20 Oktober 2019 untuk periode jabatan 2019-2024.
Jokowi dan Ma’ruf resmi menjalankan peran sebagai presiden dan wapres setelah dilantik dalam acara yang berlangsung di Gedung MPR pada Minggu (20/10/2019).
Selama dua tahun memimpin di periode kedua, Presiden Jokowi dianggap semakin alergi terhadap kritik dan suara-suara kritis.
Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi menjelang dua tahun kepemimpinan Jokowi-Maruf Amin menyebutkan, dari sisi politik dan demokratisasi, rezim Jokowi nampak alergi terhadap kritik-kritik dan suara-suara kritis.
“Kebebasan kritis dan pendapat dibungkam. Satu indikasinya, lenyapnya Forum ILC TVOne tiap malam Selasa,” ujar Muslim kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (17/10).
Selain itu kata Muslim, sikap yang rada-rada preman juga ditunjukkan ketika Istana dikritik oleh sejumlah tokoh seperti Rizal Ramli, Faisal Basri, Rocky Gerung dan sebagainya.
Dalam bacaan Muslim Arbi, orang-orang di lingakaran Joko Widodo nampak tak beradab dalam merespons kritik. Tidak jarang, kata-kata kasar justru diungkapkan orang di lingkaran Jokowi.
Selama dua tahun terakhir, Muslim Arbi mencatat sikap politik dan pemasungan demokrasi nampak terlihat jelas.
“Kata-kata kasar, antikritik dan tidak beradab dengan kata-kata otak, isi septik tank ke mantan Menko Rizal Ramli dan otak sungsang ke Faisal Basri oleh Tenaga Ahli KSP, Ali Mochtar Ngabalin, ekspresi Istana yang tidak beradab hadapi kritikan dan pendapat-pendapat yang berseberangan dari rakyat,” pungkas Muslim.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia’s Democratic Policy, Satyo Purwanto mengatakan bahwa keberadaan buzzer atau influencer tidak bisa lagi dianggap sebagai alat yang efektif.
“Awalnya mereka (buzzer) banyak berperan untuk menyerang masyarakat sipil yang kritis terhadap kekuasaan, kini mereka mulai terlihat kontraproduktif ketika membela pemerintah,” ujar Satyo kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (18/10).
Disebut kontraproduktif lantaran pembelaan yang dilakukan para buzzer justru membuat pemerintah tersudut.
Pemerintah dianggap tidak berpihak para rakyat karena para buzzer membabi buta menyerang semua pihak yang melancarkan kritik.
“Apa yang mereka (buzzer) lakukan justru kerap menjadi serangan balik untuk pemerintah,” pungkas Satyo.[pojoksatu]
Loading...
loading...