CMBC Indonesia - Kuasa hukum DPP Partai Demokrat kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) Hamdan Zoelva menegaskan bahwa seharusnya kubu sebelah menggugat keputusan Menteri Hukum dan HAM ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Bukannya mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Agung (MA).
Hamdan memahami AD/ART itu berlaku karena keputusan Menkumham.
Namun dengan menguji materi dengan Termohon Menkumham, maka konstruksi berpikir tersebut dapat melahirkan pemikiran bahwa semua AD/ART dapat diuji ke MA.
"Saya ingin sampaikan kalau konstruksi berpikir seperti itu, maka nanti AD/ART ormas bisa juga di JR ke MA. Kenapa? Karena ormas itu dibentuk dengan dasar UU. Juga dalam UU ormas, bagaimana isi AD/ART juga dicantumkan disana, proses pengesahan juga dicantumkan dalam UU mengenai ormas," ujar Hamdan, saat wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribunnetwork Febby Mahendra Putra dan News Manager Tribunnetwork Rachmat Hidayat, Selasa (19/10).
Dia tak menutup kemungkinan nantinya AD/ART PWI, Kadin, hingga Peradi juga bisa digugat. Karena semuanya bersumber pada UU.
Sehingga Hamdan menilai konstruksi berpikir ini kacau, sebab niatnya mau mencari terobosan hukum tapi justru mengacaukan tertib hukum.
"Jadi saya katakan bahwa AD/ART itu bukan objek JR, karena bukan peraturan perundang-undangan. Nah kalau mengelompokkan AD/ART sebagai peraturan perundang-undangan maka kena pula AD/ART ormas, Peradi, Kadin dan semua AD/ART yang lain, bisa-bisa AD/ART PT juga, karena semua diatur dan bersumber di UU. Ini problem kalau permohonan ini diakomodir, akan merusak tertib hukum nasional kita," ucapnya.
Berikut petikan wawancara Tribunnetwork dengan kuasa hukum DPP Partai Demokrat Hamdan Zoelva:
Anda kerap berperkara di Mahkamah Konstitusi melawan Yusril. Apakah Anda merasa Yusril menjadi lawan terberat?
Bagi saya tidak berat, ringan-ringan saja. Karena ini kan masalah pengetahuan hukum yang sama. Jadi kalau berat itu kasusnya berat, tapi bagi saya kasus ini ringan dan sederhana. Tidak seberat seperti yang digambarkan. Bagi saya sangat ringan dan sederhana.
Bisa diceritakan awalnya Anda menerima kuasa hukum dari DPP Partai Demokrat?
Memang saat itu ada perkara yang diajukan oleh pak Moeldoko dan Jhoni Allen di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Saya diminta untuk menangani kasus itu sebagai Termohon intervensi karena yang digugat disitu kan Menteri Hukum dan HAM. Karena gugatannya adalah penolakan pengesahan hasil KLB Deli Serdang.
Sejak itu saya memang ditunjuk oleh Partai Demokrat untuk menghadapi persoalan itu. Dan sejak awal memang disampaikan pokoknya persoalan-persoalan yang mungkin muncul di belakang hari yang berkaitan dengan Partai Demokrat, urusan kebijakan publik, tata usaha negara dan administrasi negara memang dipercayakan kepada saya.
Ada urusan perdata itu kepada teman-teman lain, karena bidang keahlian saya adalah bidang hukum tata negara dan administrasi negara. Itulah sebabnya memang untuk khusus seperti itu saya yang diminta Partai Demokrat untuk membantu.
Itu satu paket berarti ya? Kasus di PTUN dan Judicial Review (JR) di Mahkamah Agung (MA)?
Betul. Walaupun dulu memang belum ada yang JR itu.
Apakah memungkinkan DPP Partai Demokrat melalui Anda bertindak sebagai Termohon intervensi di dalam JR di MA?
Saya sampaikan di semacam penjelasan dan permohonan kepada MA, memang dalam hukum acara JR MA tidak mengenal pihak terkait maupun Termohon intervensi. Memang tidak mengenal. Samalah dengan para Pemohon ini, tidak mengenal pengujian Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), cuma coba-coba ini.
Tapi kalau saya bukan coba-coba, ini hal yang sangat penting dipertimbangkan agar Partai Demokrat ini menjadi pihak yang akan memberikan keterangan. Karena objek yang digugat adalah AD/ART Partai Demokrat, sehingga Partai Demokrat yang paling tahu proses pembentukan dan substansi AD/ART itu.
Kalau Menteri Hukum dan HAM kan hanya mengesahkan saja, prosedur dan materialnya terpenuhi ya sudah disahkan. Karena itu bagaimana mungkin orang yang dikenai persoalan tidak didengarkan keterangannya. Katakanlah mau nembak pohon pisang, tapi yang ditembak pohon pinus. Masa pohon pisangnya nyerah begitu saja? Kan ini contoh model gugatan itu.
Kapan itu diajukan?
Minggu lalu waktu saya ke MA. Hari Senin lalu.
Ada pihak yang mengatakan Partai Demokrat tak perlu menjadi Termohon intervensi karena tak punya legal standing. Cukup dihadirkan sebagai pemberi kesaksian oleh Termohon yaitu Menkumham. Bagaimana menurut Anda?
JR di MA kan sidangnya tertutup, hanya membaca dokumen, hanya membaca berkas. Karena itu kami kirimkan dokumen, berkas, untuk dipelajari MA. Masalah memberikan kesaksian di Kementerian Hukum dan HAM kami juga melengkapi data untuk dipelajari juga sebagai bahan mereka. Jadi dua-duanya dilakukan.
Jadi dokumen, berkas dan keterangan yang sama disampaikan juga kepada Kementerian Hukum dan HAM sebagai pihak Termohon dalam JR di MA?
Betul.
Yang nantinya berkas itu akan menjadi jawaban yang akan disampaikan Kementerian Hukum dan HAM ke MA?
Ya, kami serahkan sepenuhnya kepada Kementerian Hukum dan HAM. Tapi yang paling substansial, ini kalau kita kembali pada hukum acara dan prinsip-prinsip dalam undang-undang kekuasaan kehakiman. Isi dasar disana adalah hakim itu harus mengambil atau mengangkat apa-apa yang merupakan keadilan yang ada dalam masyarakat itu.
Itu penting sekali bagi hakim, oleh karena itu kalau hakim tidak menemukan hukumnya secara formal, katakanlah tidak ada pihak terkait atau Termohon intervensi di dalam JR, tapi ada keadilan yang harus ditegakkan maka hakim harus melakukan penemuan hukum atau asas. Artinya kalau pun hukum acaranya tidak ada, tidak mengatur, maka hakim harus melakukan penemuan hukum untuk mengakomodir suara keadilan, disamping mengangkat prinsip lain juga bahwa hakim harus mendengarkan para pihak yang terkait secara seimbang.
Dalil pemohon terkait legal standing dari DPP Partai Demokrat. Yang digugat adalah AD/ART Partai Demokrat, sedangkan itu bukan produk DPP Partai Demokrat tapi hasil Kongres Partai Demokrat. Bagaimana Anda menjelaskan hal ini?
Jadi saya berikan ilustrasi misalkan MPR yang membuat UUD, apakah MPR yang langsung maju untuk menghadapi persoalan? Tidak mungkin MPR yang maju kan, itukan diwakili oleh pimpinan MPR. DPR Paripurna memutuskan UU, kan nggak mungkin DPR Paripurnanya yang maju untuk menghadapi misalnya JR. Nah kongres yang memutuskan maka di kongres itu, saya kira AD/ART parpol dan ormas manapun pasti memberikan kewenangan kepada DPP untuk mewakili kepentingan partai termasuk hasil keputusan kongres itu ke pengadilan dan ke luar.
Termasuk isi AD/ART Partai Demokrat?
Ya termasuk. Semua kan kepentingan partai. Sama ketika saya memimpin organisasi, hasil kongres masa hasil kongresnya yang datang langsung, kan nggak logic, nggak match. Cara berpikirnya nggak match gitu.
Bagaimana Anda menjelaskan AD/ART bukan sebagai objek dari JR karena dia bukanlah produk hukum yang berada dibawah UU, sehingga kemudian bisa di uji materi berdasarkan UU parpol?
Kalau kita lihat permohonan itu, itu yang mengajukan sendiri ragu. Ragunya kenapa? Pertama, kan keputusan Kementerian Hukum dan HAM yang menjadi objek dia sehingga menjadikan Menkumham sebagai Termohon, seharusnya tidak ke MA, tapi maju ke PTUN. Karena keputusan Menkumham itu bersifat deklaratif, menjadi objek dan kompetensi absolut dari PTUN.
Nah ini di satu sisi dia menjadikan objeknya keputusan Menkumham, tapi substansinya mengajukan AD/ART. Kan ini kacau. Seharusnya kalau dia menggugat keputusan Menkumham ya ke PTUN. Dan sekarang memang ada dua perkara, satu perkara di PTUN yang mempersiapkan ini, kan kacau jadinya. Jadi karena itu saya minta MA bahwa ini bukan kompetensi MA karena yang digugat ternyata keputusan Menkumham mengenai pengesahan AD/ART, nah ini kan di PTUN dan sekarang sedang berlangsung.
Menurut Anda, orang yang memberi kuasa ke Yusril Ihza Mahendra apakah memiliki legal standing untuk mengajukan JR?
Saya mengambil yurisprudensi di MK. Ini juga sering dipakai MA dalam menentukan legal standing atau menentukan aspek hukum tertentu. Karena itu saya mengajak MA dan para pemohon menjadikan putusan MK itu sebagai dasar untuk legal standing. Menurut banyak putusan MK, ada 5 atau 6 yang saya kumpulkan bahwa seorang yang ambil keputusan dalam rapat DPR terhadap suatu UU tidak memiliki legal standing untuk menguji UU itu. Karena dia sudah ikut serta mengambil keputusan, walaupun dia menolak, keberatan, dan ada pro kontra, tapi itu prosedur demokrasi yang ada dan harus dihormati.
Menurut Anda, orang yang ikut kongres terlepas tidak setuju atau setuju dengan isi AD/ART, maka tidak bisa menjadi pihak yang mengajukan JR, karena dia ada di dalamnya?
Betul sekali. Kalau dia keberatan dan mau merubah itu ada caranya. Ajukan ke Mahkamah Partai, karena boleh keputusan organisasi diajukan ke Mahkamah Partai. Kemudian kalau juga keberatan dengan keputusan Mahkamah Partai, artinya itu penyelesaian internal apapun namanya, yang dimaksud di UU penyelesaian internal di partai yang bersangkutan, bisa ajukan keberatan ke pengadilan negeri sampai kepada kasasi. Inilah prosedur yang benar menurut tertib hukum, tidak langsung tembak JR. [tribun]
Loading...
loading...