CMBC Indonesia - Kuasa hukum empat eks kader Partai Demokrat, Yusril Ihza Mahendra, membantah tudingan dirinya pernah berdiskusi dengan Partai Demokrat soal fee jasa hukumnya sebesar Rp 100 Miliar.
Awal polemik internal Partai Demokrat muncul, Yusril mengaku memang sempat dihubungi seorang anggota DPR Fraksi Demokrat.
Orang tersebut, kata Yusril, menawarkannya sebagai kuasa hukum Demokrat.
Hal tersebut disampaikan Yusril saat wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dan News Manager Tribunnetwork Rachmat Hidayat, Rabu (13/10/2021).
"Ada anggota DPR fraksi Demokrat yang menghubungi saya. Bagamana bang Yusril kalau membantu kami-kami ini?"
"Saya bilang, cobalah kita jajaki kita bahas bersama," kata Yusril, dikutip dari kanal YouTube Tribunnews.com.
Di sisi lain, lanjut Yusril, tawaran menjadi kuasa hukum Demokrat juga datang dari teman-temannya.
Setelah itu, pihak Demokrat mengajak Yusril untuk bertemu secara fisik untuk membahas tawaran menjadi kuasa hukum.
Pertemuan langsung tersebut ditolak Yusril karena pandemi Covid-19 yang membuatnya ingin tetap berdiam di rumah.
Yusril akan hadir jika pertemuan tersebut digelar secara virtual.
"Saya katakan sudah setahun bekerja dari rumah. Saya minta maaf, kecuali ada pertemuan secara virtual barang saya bisa hadir," kata Yusril.
Tetapi pada kenyataannya, Yusril menyebut pertemuan tersebut tak pernah terjadi hingga saat ini.
Baik itu melalui virtual maupun langsung.
"Tapi itu tak pernah terjadi, karena mereka menghendaki pertemuan secara langsung," imbuhnya.
Setelah itu, kata Yusril, muncul pernyataan dari kubu AHY bahwa Yusril tak merapat karena mematok fee terlalu tinggi yaitu Rp 100 miliar.
Bahasa Indonesia disebutnya kerap bersayap, kadang benar orang menyatakan sesuatu tapi terkadang melebih-lebihkan.
"Kadang memang orang itu ngomong Rp 100 miliar itu benar-benar Rp 100 miliar. Tapi bisa juga orang itu sebenarnya dia nggak mau membantu orang itu, lalu menawarkan sesuatu yang seperti yang dibilang tadi tidak masuk akal dan kemudian menyampaikan bahwa angka seperti itu," katanya.
Di sisi lain, Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu menegaskan wajar apabila advokat meminta fee kepada calon klien.
Sebab advokat tidak dibiayai negara dengan uang rakyat seperti jaksa, polisi, dan hakim.
Namun, Yusril mengaku menerima saja dengan pernyataan yang disampaikan kubu AHY.
Dia pun mengharapkan agar dirinya benar-benar mendapat rezeki Rp 100 miliar seperti yang dibicarakan selama ini.
"Jadi kalau klien itu minta fee kepada klien itu sah saja, yang tidak boleh itu orang jadi pejabat, anak presiden, istri presiden, minta fee proyek nah itu yang nggak boleh, advokat mah boleh aja. Hanya saja kok kemudian dibesar-besarkan setiap hari. Ya tapi sudah jadinya bagus juga bagi saya, jadi orang tahu wah Yusril nggak sembarangan (menerima kasus)," ucapnya.
"Bahkan ada yang bilang sama saya nih anda mengalahkan six million dollars men katanya kan, jadi anda sekarang seven million dollars lawyers lebih hebat anda katanya. Sekarang ya biarin saja saya bilang, kalau orang ngomong begitu ya nggak apa-apa, mudah-mudahan menjadi doa dan saya mendapat rezeki Rp 100 miliar syukur alhamdulillah," pungkasnya.
Tolak Tawaran SBY Saat Diminta Jadi Hakim MK
Dalam diskusi tersebut, Yusril Ihza Mahendra juga mengungkapkan Presiden Ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menawarinya menjadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut penuturannya, berkali-kali dia ditawari jabatan tersebut.
Namun Yusril menolak tawaran tersebut karena lebih baik menjadi Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) saat itu.
Hal itu disampaikan Yusril merespons penunjukan mantan Ketua MK Hamdan Zoelva sebagai kuasa hukum DPP Demokrat atas gugatan AD/ART.
"Saya enggak mau saja jadi hakim MK. Berkali-kali saya ditawarin jadi hakim MK, saya enggak mau. Pak SBY itu empat kali pernah bicara sama saya, pada waktu nyusun kabinet juga begitu. Saya bilang lebih baik saya jadi Mensesneg aja pak," kata Yusril saat wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra, Rabu (13/10/2021).
Untuk diketahui, DPP Demokrat menunjuk Hamdan Zoelva sebagai kuasa hukum lantaran latar belakangnya sebagai mantan Ketua MK.
Yusril menganggap bahwa hal itu biasa saja dan tak penting.
"Pak Hamdan enggak pernah jadi menteri kehakiman tapi pernah jadi Ketua MK. Kalau Yusril enggak pernah jadi Ketua MK tapi dua kali jadi menteri kehakiman. Jadi udahlah persoalan itu enggak penting," ucap Yusril.
Lebih lanjut, Yusril tak terkejut Hamdan Zoelva dipilih DPP Demokrat untuk melawannya.
Pasalnya, berdasarkan informasi yang didapatnya, Hamdan juga menjadi kuasa hukum Demokrat saat bertarung dengan kubu KLB di PTUN.
"Wajar saja kalau Hamdan yang ditunjuk oleh Partai Demokrat, apalagi pertimbangannya kan beliau sudah sering menguji Undang-Undang di MK. Jadi wajar dan saya enggak terkejut sama sekali, saya anggap biasa-biasa saja," tandasnya.
Kelakar Rp 200 Miliar
Pada kesempatan itu, Yusril Ihza Mahendra berkelakar dirinya bisa saja mendapat bayaran sebesar Rp 200 miliar andai menjadi kuasa hukum Demokrat pimpinan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Awalnya, Yusril merespons soal permintaan DPP Demokrat menjadi termohon intervensi dalam gugatan AD/ART Partai Demokrat di Mahkamah Agung (MA).
Yusril mengungkapkan dirinya telah mempelajari betul persoalan tersebut.
"Saya sudah pelajari mendalam persoalan ini, secanggih apapun anggaran dasar dibuat oleh sebuah partai, anggaran dasar itu tidak ada artinya, tidak ada gunanya sebelum dia disahkan oleh Kemenkumham," kata Yusril.
"Jadi anggaran dasar partai itu dibedakan dua jenis, ketika dibentuk pertama kali anggaran dasar itu diteliti oleh Menkumham secara mendalam. Tapi kalau perubahannya tidak, perubahan itu minta disahkan, disahkan saja oleh Menkumham," imbuhnya.
Yusril juga merespons pernyataan kuasa hukum DPP Demokrat Hamdan Zoelva yang menyebut semestinya yang digugat adalah SK Menkumham ke PTUN.
Dia menyatakan bahwa persoalan anggaran dasar ada di ranah Mahkamah Agung.
Hal itu didasari pengalaman Yusril saat membela Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
"Itu sudah pernah saya alami ketika membela HTI, saya mempersoalkam Perppu waktu itu, Perppunya bertentangan dengan UUD 45, hakimnya menjawab, Pak Yusril apa bapak tidak tahu PTUN itu tidak bisa menguji Perppu dengan UUD 45. Itu silakan bapak uji ke Mahkamah Agung," ujarnya.
Lantas, di mana posisi DPP Demokrat dalam persoalan gugatan AD/ART tersebut?
Yusril mengatakan jika hal itu biarlah Hamdan Zoelva selaku kuasa hukum yang menjawab.
"Kalau kemudian di mana posisi Partai Demokratnya?itu tanya kepada Hamdan sebagai advokat, saya enggak mau ngajarin dia, saya bukan lawyernya Partai Demokrat," ujarnya.
"Kalau saya jadi lawyer Partai Demokrat, saya dapat 200 miliar, dari Pak Moeldoko saya dapat 100 miliar dari AHY saya dapat 100 miliar lagi. Kan begitu, ini saya enggak mau ngajarin dia, anda meng-hire saudara Hamdan kok malah saya ngajarin dia kan," imbuhnya.
Lebih lanjut, Yusril menilai pernyataan Hamdan Zoelva itu justru kontradiktif.
Sebab menurut Yusril, yang semestinya menjadi pihak termohon adalah pihak yang membuat anggaran dasar.
Dan menurut UU parpol, perubahan anggaran dasar itu hanya dapat dilakukan oleh badan tertinggi di partai itu, melalui kongres.
"Anda dikasih kuasa sama siapa? Dikasih kuasa sama DPP Partai Demokrat kan, yang teken siapa? AHY sama Sekjennya," ujar Yusril.
"Emang anggaran dasar Partai Demokrat dibikin sama AHY sama sekjennya? Kalau begitu anda mengaku apa yang kami persoalkan bahwa ternyata menurut pengakuan anda sendiri AD/ART justru dibuat DPP Demokrat," imbuhnya.
Yusril menambahkan, jika seharusnya yang menjadi pihak termohon adalah kongres Partai Demokrat.
"Sekarang pertanyaaannya, bagaimana saya memgundang peserta kongres? Ya adakan KLB lah kan lebih bagus. Kita undang KLB nya nanti ke Mahkamah Agung untuk mempertahankan AD/ART-nya," kata Yusril.
"Karena hati-hati, advokat ngomong jangan asal ceplas ceplos aja, enggak dipikir dalam dalam, dia bisa jadi bumerang terhadap apa yang dia sebut bisa balik ke mereka sendiri," tandasnya.[tribunnews]
Loading...
loading...