CMBC Indonesia - Pernyataan Presiden Joko Widodo saat membuka Gelaran The 10th Indonesia EBTKE ConEx 2021 Senin (22/11), bahwa Pemerintah tidak ingin transisi energi membebani rakyat dan keuangan negara, disorot anggota Komisi VII DPR RI fraksi PKS, Mulyanto.
Mulyanto menilai pernyataan Jokowi bertolak belakang dengan yang disampaikan saat mengikuti konferensi tingkat tinggi perubahan iklim di Glasgow, beberapa waktu lalu.
Saat itu, Jokowi sesumbar menyatakan Indonesia siap melaksanakan program energi hijau. Tapi sekarang Presiden malah mengeluh kesulitan merealisasikan program ini karena dana yang dibutuhkan sangat besar.
"Sekarang terbukti, apa yang disampaikan Presiden di KTT perubahan iklim hanya pencitraan. Karena faktanya kita butuh waktu dan butuh dana yang besar untuk melakukan transisi teknologi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT)," kata Mulyanto dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (23/11).
Terkait program energi hijau ini, Mulyanto minta Pemerintah realistis. Jangan terlalu memaksakan diri karena ingin menjadikan program tersebut sebagai bahan pencitraan.
"Jika Pemerintah tidak berhati-hati dapat menimbulkan krisis energi seperti yang pernah dialami negara-negara maju beberapa waktu lalu," tegas Mulyanto.
Presiden Joko Widodo mengakui ada kebutuhan biaya yang besar untuk melakukan transisi energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT). Sebab Indonesia sudah cukup lama menggunakan energi dari batubara.
Meskipun Indonesia memiliki potensi yang besar untuk sumber EBT, namun perlu ada skenario yang matang untuk bisa mewujudkannya.
Jokowi menilai biaya listrik berbasis EBT nantinya bisa saja lebih tinggi daripada energi yang berbasis batubara.
"Misalnya pendanaan atau investasi datang, kan lebih mahal dari batubara. Siapa yang bayar gap-nya? Negara? Kita enggak mungkin, angkanya berapa ratus triliunan itu," ucap Jokowi ketika membuka Gelaran The 10th Indonesia EBTKE ConEx 2021, Selasa (22/11). [rmol]
Loading...
loading...