CMBC Indonesia - Pegiat anti-korupsi mendorong Presiden Joko Widodo untuk bersikap atas dugaan konflik kepentingan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir pada bisnis tes PCR melalui PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI).
Peneliti senior Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, mengatakan lembaga penegak hukum juga harus segera mengusut dugaan ini karena menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Menurut Zainal, dugaan konflik kepentingan ini tidak hanya bermasalah secara hukum, namun juga menyalahi etika kedua menteri sebagai pembuat kebijakan terkait pandemi.
Baik pihak Luhut maupun Erick membantah soal dugaan konflik kepentingan atas bisnis tes PCR itu.
Sementara itu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit tata kelola bisnis PCR di Indonesia.
Permintaan tersebut mereka sampaikan langsung ketika mendatangi kantor BPK pada Selasa (9/11) bersama sejumlah lembaga lainnya yakni Indonesian Audit Watch (IAW), Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta, serta Petisi 28.
Di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND) mendesak lembaga anti-rasuah itu untuk segera memeriksa Luhut dan Erick atas dugaan konflik kepentingan ini.
GSI merupakan perusahaan pengelola laboratorium tes PCR yang berdiri sejak 2020. Semenjak pendiriannya, GSI telah melakukan lebih 700 ribu tes usap.
Di dalam struktur kepemilikan sahamnya, perusahaan milik Luhut yakni PT Toba Sejahtera dan PT Toba Bumi Energi tercatat memiliki 242 lembar saham di PT GSI yang bernilai Rp242 juta.
Selain itu, Yayasan Adaro yang merupakan organisasi nirlaba di bawah PT Adaro Energi Tbk juga mengantongi 485 lembar saham GSI. Presiden Direktur Adaro Energi ialah Garibaldi Thoir, yang merupakan kakak dari Menteri BUMN Erick Thohir.
Akan tetapi, Arya Sinulingga dari Kementerian BUMN menyanggah atasannya terlibat konflik kepentingan dalam bisnis PCR.
"Di Adaro ada keluarganya, oke, tapi dia (Erick Thohir) kan enggak punya kewenangan," kata Arya.
Sementara itu, Deputi Koordinasi Bidang Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Septiadi Hario Seto, mengakui bahwa dia kurang berhati-hati mengingatkan Luhut mengenai potensi konflik kepentingan terkait saham GSI.
'Presiden wajib tegakkan etik menteri-menterinya'
Peneliti Pukat UGM Zainal Arifin berpendapat keterkaitan Menteri Luhut dan Erick Thohir dengan PT GSI jelas menunjukkan potensi konflik kepentingan.
Menurut dia, kebijakan pemerintah yang sempat mewajibkan tes PCR sebagai syarat perjalanan di dalam negeri berpotensi menguntungkan bagi kepentingan bisnis kedua menteri tersebut. Apalagi, Luhut saat ini juga dimandatkan menjadi Koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa-Bali.
Zainal menuturkan pejabat negara seharusnya tidak menerbitkan kebijakan yang berisiko memiliki konflik kepentingan dan menguntungkan dirinya sendiri maupun orang lain. Aturan terkait hal ini tertuang dalam Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Tidak hanya itu, dia mengatakan Luhut dan Erick telah melanggar etika sebagai pejabat publik yang banyak terlibat dalam kebijakan penanganan pandemi.
Presiden Jokowi sebagai pemimpin negara pun diminta mempertanggungjawabkan konflik kepentingan yang terjadi dalam lingkup kabinetnya ini.
Menurut dia, Presiden Joko Widodo berkewajiban menegakkan kembali etika yang dilanggar kedua menterinya.
"Secara etika, pejabat yang bersangkutan harusnya merasa, paling tidak presidennya harus merasa bahwa kebijakan itu memperkaya orang-orang tertentu di sekitar dia, bahkan orang yang sangat dipercayai oleh presiden.
"Ini bukan sekadar ujian bagi lembaga penegak hukum, ini ujian bagi keseriusan pemerintah, seserius apa presiden melihat konflik kepentingan pembantunya dan kualitas kebijakan publiknya."
Di sisi lain, Zainal juga mendesak agar lembaga penegak hukum seperti KPK, kepolisian, maupun kejaksaan segera mengusut dugaan konflik kepentingan ini tanpa perlu menunggu laporan masyarakat.
"Jika lembaga negara terkait itu serius, seharusnya mereka bisa melihat konflik kepentingan ini berbahaya atau tidak.
"KPK bisa langsung saja masuk, BPK juga bisa masuk kalau mereka menganggap itu hal yang penting," ujar Zainal.'Presiden wajib tegakkan etik menteri-menterinya'
Bisnis PCR di Indonesia diperkirakan bernilai Rp23 triliun
Desakan utama yang disampaikan LBH Kesehatan bersama sejumlah lembaga lainnya adalah agar BPK melakukan audit menyeluruh terhadap bisnis PCR di Indonesia.
Dalam laporan yang mereka ajukan kepada BPK, LBH Kesehatan menyertakan data yang memperkirakan bahwa bisnis PCR di Indonesia secara keseluruhan bernilai hingga Rp23 triliun.
Pendiri LBH Kesehatan Iskandar Sitorus menuturkan nilai itu didapat dari estimasi kasar dari 28 juta tes yang telah dilakukan di Indonesia selama pandemi, dengan memperhitungkan harga tes yang berlaku selama ini mulai dari Rp2,5 juta per tes hingga turun menjadi Rp300 ribu per tes.
Persoalannya, menurut Iskandar, tidak seluruh tes yang dilakukan ditujukan untuk penyelidikan epidemiologi dari kasus-kasus positif Covid-19. Sebagian tes dilakukan sebagai syarat administrasi bagi penumpang pesawat yang menurut LBH Kesehatan, tidak diperlukan dan hanya merugikan masyarakat secara finansial.
Apalagi, kewajiban tes PCR itu muncul di tengah menurunnya kasus Covid-19 di Indonesia dan semakin banyak orang yang telah mendapatkan vaksin.
Meski demikian, Iskandar menuturkan angka yang dia sajikan baru berupa gambaran kasar. Hasil audit BPK lah yang dapat menunjukkan nilai kerugian yang dialami negara maupun masyarakat akibat kebijakan syarat konflik kepentingan yang dia anggap tidak tepat.
"Kami yakin BPK sesuai kewenangannya menurut Undang-Undang mampu melakukan audit terkait ini," ujar Iskandar kepada BBC Indonesia.
Hasil audit itu juga diharapkan memberi gambaran yang lebih utuh terkait perputaran uang dan dugaan potensi kerugian dari bisnis PCR ini.
Menurut Iskandar, bukan tidak mungkin bisnis PCR melibatkan konflik kepentingan yang lebih luas di kalangan pejabat negara. Apalagi, PT GSI hanya berkontribusi pada sekitar 2,5 persen tes PCR di Indonesia.
"Ini publik hanya disajikan data terkait 700 ribu tes PCR [oleh PT GSI], lantas bagaimana yang 27,3 juta tes lainnya?"
"Apakah ada angka yang belum terungkap, sengaja tidak diungkap atau terselubung? Harapan kita BPK bisa menelisik dan masuk ke ruang-ruang yang masih tertutup itu," tutur dia.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna tidak menanggapi permintaan BBC Indonesia untuk memberikan pernyataan terkait pelaporan ini.
Sementara itu, Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND) berunjuk rasa di depan Gedung KPK pada Selasa siang untuk mendesak lembaga anti-rasuah itu segera memeriksa Luhut dan Erick Thohir atas dugaan konflik kepentingan ini.
"Kami ingin memberikan dukungan sekaligus tekanan terhadap KPK untuk bersikap tegas menyikapi dugaan keterlibatan dua menteri di kabinet Jokowi," ujar Wakil Ketua Umum LMND Samsudin Saman.
Dia melanjutkan, bisnis PCR yang melibatkan kedua menteri telah merugikan hajat hidup orang banyak dan dianggap berkontribusi menyebabkan tarik ulur kebijakan penanganan Covid-19.
Tarik ulur yang dimaksud ialah keputusan pemerintah yang berkali-kali mengubah ketentuan tes PCR sebagai syarat perjalanan dalam negeri.
"Covid-19 telah mengisolasi kehidupan masyarakat dalam waktu yang lama, dan penderitaan luar biasa sudah kita alami dalam waktu yang lama, tapi masih ada menteri yang tega mencari untung di saat yang kritis, di saat masyarakat panik akibat Covid-19," jelas Samsudin.
Menanggapi desakan itu, Juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan akan menindaklanjuti laporan masyarakat tersebut, namun akan memverifikasi laporan itu lebih dulu sebelum mengambil langkah berikutnya.
Bagaimana Luhut bisa memiliki saham di PT GSI?
Deputi Koordinasi Bidang Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, sekaligus anak buah Menteri Luhut, Septian Hario Seto mengatakan pembentukan PT GSI bermula dari kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas tes PCR di Indonesia pada masa awal pandemi.
Seto mengaku ide untuk meningkatkan kapasitas tes PCR mulanya ditujukan melalui donasi ke kampus-kampus yang memiliki kapasitas untuk menjalani tes PCR.
Di tengah perjalanan panjang dan sulitnya mendapatkan alat dan kelengkapan tes PCR, Luhut dan rekan-rekannya berhasil mendapatkan suplai yang kemudian didonasikan untuk kebutuhan di Indonesia. Menurut Seto, salah satu rekan mengajak Luhut berpartisipasi mendirikan laboratorium tes Covid-19 dengan kapasitas 5 ribu tes per hari. Saat itu, kapasitas tes di Indonesia masih jauh lebih rendah dari itu.
"Akhirnya melalui Toba Sejahtera (yang memiliki dana untuk kebutuhan ini), Pak Luhut ikut mendukung pendirian lab tersebut. Maka lahirlah GSI, setelah itu, kami tidak monitor lagi mengenai GSI ini," jelas Seto.
Dia juga memaparkan alasan mengapa wadah donasi yang dibentuk berupa perseroan terbatas (PT), bukan yayasan. Menurut Seto, model "socialpreneurship" yang menggabungkan antara bisnis PCR dengan donasi dianggap lebih berkelanjutan.
Di dalam perjanjian pemegang saham GSI, terdapat ketentuan bahwa 51% keuntungan harus digunakan kembali untuk tujuan sosial seperti tes PCR grtis untuk yang tidak mampu atau tenaga kesehatan.
"Sampai detik ini tidak ada pembagian keuntungan seperti dividen kepada pemegang saham. Hasil laba yang lain digunakan untuk melakukan reinvestasi terhadap peralatan atau kelengkapan lab yang lain, salah satunya untuk genome sequencing," ujar Seto.
Seto juga mengakui bahwa dirinya "kurang berhati-hati" mengingatkan Luhut terkait potensi konflik kepentingan dari kepemilikan saham di PT GSI.
Dia membantah bahwa kebijakan mewajibkan hasil tes PCR untuk syarat penerbangan yang sempat berlaku beberapa waktu lalu didasarkan pada kepentingan itu.
Seto mengatakan kebijakan itu murni diusulkan karena risiko lonjakan kasus yang berpotensi terjadi akibat meningkatnya mobilitas masyarakat dan menurunnya kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan.
"Tidak ada satupun keputusan yang diambil oleh Pak Luhut yang kami usulkan, karena mengedepankan kepentingan GSI, termasuk usulan mengenai PCR untuk penumpang pesawat," kata dia.
Sementara itu, Staf khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga membantah bahwa atasannya, Erick Thohir, memiliki konflik kepentingan dalam bisnis PCR ini.
Menurut dia, Erick Thohir tidak memiliki wewenang dalam memutuskan harga tes PCR. Selain itu, dia mengklaim Erick tidak terlibat dalam kepemilikan saham Adaro pada PT GSI.
"Soal dikatakan bahwa beliau [Erick] ada hubungan keluarga gitu ya, satu, dia tidak ada hubungan dengan Adaro. Kedua, di Adaro ada keluarganya, oke, tapi dia kan dia enggak punya kewenangan," papar Arya.[suara]
Loading...
loading...